Masyarakat ekonomi Indonesia akhirnya dapat berdamai dan hidup berdampingan dengan covid19 di tahun 2021 ini.  Ekonomi yang sebelumnya terpuruk, mulai menunjukkan geliatnya pada triwulan II tahun 2021.  Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada triwulan II tahun 2021 kumulatif laju pertumbuhan ekonomi positif sebesar 3,10 persen.  Kondisi ini berlanjut pada triwulan III tahun 2021 dengan kumulatif laju pertumbuhan ekonomi sebesar 3,24 persen.  Berbondong-bondongnya masayarakat untuk mengikuti program vaksinasi merupakan salah safu faktor Pemerintah berani membuka satu per satu kegiatan ekonomi.  Hal ini sangat menggairahkan pelaku ekonomi di Indonesia.  Masyarakat juga sudah bosan dengan pembatasan-pembatasan.  Tabungan yang disimpan sudah habis digunakan untuk menutupi kebutuhan hidup selama masa pembatasan. Dari 16 sektor, terdapat 14 sektor yang menunjukkan kumulatif pertumbuhan yang positif.  Sementara itu terdapat 2 sektor yang mengalami penurunan. Sektor itu adalah administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib mengalami penurunan sebesar 1,14 persen serta sektor jasa pendidikan  mengalami penurunan sebesar 0,11 persen.
     Sampai dengan bulan November 2021, BPS mencatat nilai ekspor non migas yang dicapai sebesar 197.978,2 juta US$, sementara nilai ekspor migas mencapai 11.182,1 juta US$.  Dengan demikian sampai November 2021 sudah tercatat total nilai ekspor sebesar 209.160,3 juta US$.  Rasanya tidak elok jika membandingkan nilai ekspor tahun ini dengan tahun sebelumnya.  Karena pasti pada tahun 2020 hampir semua kegiatan ekonomi terhenti.  Untuk itu marilah kita bandingkan nilai ekspor kita pada tahun 2021 dengan tahun 2019.  Pada tahun 2019, yaitu sebelum pandemi, nilai ekspor tercatat sebesar 167.683 juta US$.  Dengan demikian terdapat kenaikan yang cukup besar yaitu sebesar 24,74 persen pada tahun 2021 ini bila dibandingkan dengan tahun 2019.  Hal ini dicapai oleh ekspor non migas yang membukukan kenaikan sebesar 27 persen, sementara ekposr migas turun sebesar 5.15 persen.  Itu yang tercatat di bulan November 2021. Sementara masih ada kegiatan ekspor di bulan Desember 2021 yang belum dibukukan, sehingga tentu akan bertambah persentase kenaikan ekspor Indonesia ke mancanegara.  Cukup membanggakan.
      Selanjutnya bagaimana dengan nilai impor ?  Banyak bahan baku sektor industri di Indonesia yang harus diimpor dari luar negeri.  Dengan demikian impor tetap diperlukan untuk mendukung produktivitas dalam negeri.  Namun jika terlalu banyak, akan membahayakan dari sisi ketahanan produksi karena terdapat ketergantungan bahan baku dari luar negeri.  Sedapat mungkin Indonesia harus berani mengurangi nilai impor, tapi jangan sampai produktivitas dalam negeri terhambat.  Walaupun yang tercatat baru sampai November 2021, ternyata  nilai impor Indonesia sudah melampaui nilai impor saat tahun 2019.  Catatan di BPS menunjukkan nilai impor sudah sebesar 174.837,8 juta US$.  Sementara pada tahun 2019 nilai impor tercatat sebesar 170.727.4 juta US$. Dengan demikian terdapat kenaikan nilai impor sebesar 2,41 persen.  Ini belum dihitung nilai impor bulan Desember 2021.
      Dengan kenaikan ekspor sebesar 24,74 persen, sementara nilai impor naik sebesar 2,41 persen, bagaimana dengan nilai net ekspor impornya ? Masih defisit kah seperti tahun-tahun sebelumnya ?  Mari kita cek lagi angkanya.   Nilai ekspor sampai November 2021 tercatat sebesar 209.160,.3 juta US$, sementara nilai impor sebesar 174.837,8 juta US$.  Dengan demikian neraca perdagangan luar negeri kita positif sebesar 34.322,.5 juta US$.  Sudah tidak defisit lagi neraca perdagangan Indonesia di mata dunia.  Semoga posisi positif ini tetap berlanjut di tahun 2022 dan tahun-tahun berikutnya.
      Tak enak membicarakan kinerja ekonomi tanpa membicarakan inflasi. Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi yang mencerminkan sisi stabil tidaknya harga komiditi akibat adanya permintaan dan penawaran.  Inflasi yang tinggi akan membuat konsumen menjerit karena akan menambah tingginya biaya hidup.  Bahkan inflasi yang tinggi dapat mengeser angka kemiskinan menjadi lebih tinggi. Namun, di sisi lain, inflasi dapat menjadi stimulus produsen atau pengusaha untuk meningkatkan produksi.  Karena itu inflasi perlu dibuat target interval oleh Pemerintah agar terdapat keseimbangan antara konsumen dan produsen.  Target inflasi yang dicanangkan Pemerintah pada tahun 2021 adalah sebesar 2 - 4 persen.Â
      Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, inflasi tahun ini sangat stabil.  Sampai dengan November 2021, kumulatif inflasi yang terjadi hanya sebesar 1,30 persen untuk kondisi Januari - November 2021 dan sebesar 1,75 persen untuk kondisi tahun ke tahun (November 2020 - November 2021).  Memang jauh di bawah target pemerintah.  Namun kita harus meneliti lebih dalam, komponen apa saja yang menjadi menyebabkan rendahnya inflasi pada tahun 2021.Â
      Salah satu kelompok yang diwaspadai menyebabkan tinggi rendahnya inflasi adalah kelompok makanan, minuman dan tembakau. Kelompok ini merupakan kelompok yang dianggap meresahkan ibu-ibu rumah tangga jika terdapat kenaikan harga.  Kelompok ini terdiri dari komoditi bahan makanan seperti beras, tahu, tempe, cabai, bawang merah, bawang putih dan lain-lain.  Fluktuasi harga di kelompok ini sangat tinggi.  Kelompok ini sangat rentan terhadap pasokan produksi pertanian.  Sementara produksi pertanian sangat tergantung pada musim atau cuaca.  Jika musim atau cuaca bagus maka produksi pertanian meningkat.  Meningkatnya produksi pertanian berarti melimpahnya pasokan pertanian di pasaran yang akan menyebabkan harga komoditi ini turun.  Dengan demikian maka inflasi pada kelompok ini tidak terlalu besar, bahkan kadang terjadi deflasi. Di sisi lain, jika musim atau cuaca tidak bagus, bahkan terjadi kekeringan atau banjir, maka produksi pertanian akan langka di pasaran.  Langkanya komoditi ini akan menyebabkan harga komoditi naik dan terjadilah inflasi yang tinggi.  Sampai dengan November 2021, inflasi yang terjadi pada kelompok ini tidak terlalu besar yaitu 1,46 persen.  Inflasi ini jauh lebih rendah dari tahun 2020 lalu yang sebesar 3,63 persen.  Â
      Di sisi lain, inflasi pada kelompok bahan makanan yang biasanya cenderung tinggi pada tahun-tahun lalu, pada tahun 2021 ini sangat rendah. Hal ini disebabkan juga oleh semakin melemahnya daya beli penduduk. Kemiskinan yang dirilis BPS pada tahun 2021 menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin, baik dari persentase penduduk miskin, kedalamam maupun keparahan kemiskinannya.  Dengan demikian timbul satu pertanyaan besar, yaitu capaian ekonomi Indonesia tahun 2021 yang dianggap sukses,  dengan laju pertumbuhan ekonomi  yang sudah bisa positif dan nilai net ekspor yang meningkat, tapi mengapa jumlah penduduk miskinnya bertambah.  Jadi hasil capaian kinerja ekonomi dinikmati oleh siapa ? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H