Suatu pengalaman berharga yang saya dapatkan pada hari selasa tanggal 18 Agustus 2013. Saat itu saya pulang dari kampus (universitas Brawijaya), menunggu angkot di depan gerbang pintu masuk, tepatnya di gerbang jalan Suhat. Hari itu adalah hari ujian SBMPTN dan registrasi mahasiswa baru. Jadi bisa dipastikan akses jalan dekat kampus cukup padat. Hal itu cukup berimbas pada angkot yang saya tunggu menjadi cukup lama. Hari sudah sangat mendung dan tak lama kemudian hujan pun mengguyur kota Malang cukup deras. Saya dan beberapa orang lainnya yang juga menunggu angkot mencoba mencari tempat berlindung yang aman.
Akhirnya dari kejauhan angkot yang saya tunggu akhirnya datang juga. Saya orang pertama yang menstop angkot itu karena memang saya berdiri palling depan. Angkot itu memang berhenti tapi tiba-tiba dua orang laki-laki dibelakang saya mendahului saya dan naik angkot tersebut. Hingga akhirnya *jengjeng* angkot itupun penuh dan saya tidak bisa naik angkot yang sudah saya tunggu lama itu. Rasanya saya jengkel banget. Bagaimana tidak? Laki-laki normal yang datang dahulu, biasanya mendahulukan wanita untuk naik terlebih dahulu. Kalaupun tidak, ya minimal jangan mendahului jika memang datang terakhir seperti itu *prinsip antri*. Jadi saya merasa bahwa hak saya telah direbut oleh dua orang laki-laki tersebut. Setelah itu saya dengan hati yang masih jengkel mengucapkan kalimat-kalimat buruk untuk untuk dua orang laki-laki itu. *tidak perlu saya ungkapkan disini*. Sesuatu yang sebenarnya sangat jarang saya lakukan.
Tidak lama kemudian angkot yang saya tunggu datang lagi. Dengan masih memendam dendam saya menstop angkot itu, dan naik. Tapi tiba-tiba “BRUK” kepala saya terbentur. Dan entah mengapa, secara otomoatis saya langsung teringat kalimat2 buruk yang saya lontarkan barusan. Kepala saya rasanya sakit sekali. Dan tentu saja: Malu yang tidak terelakkan. Namun setelah teringat itu, saya langsung mengucapkan istighfar berkali-kali.
Hari itu saya langsung menyadari kesalahan dan mencoba memantapkan diri dalam hati bahwa tidak akan mengulanginya lagi. Namun sepertinya itu belum cukup meyakinkan. Sehingga Allah mengingatkanku lagi dengan cara yang lain. Sehari kemudian, tepatnya habis maghrib, setelah saya sholat maghrib, saya membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an milik saya ada terjemahannya ya sesekali saya melirik terjemahan itu *sesekali*. Ayat pertama yang saya baca setelah membaca Al Fatihah adalah Surat An NIsa ayat 148. Namun belum sempat saya membaca, tiba-tiba ada yang mengganjal di terjemahnnya. Ada sub bab yang dicetak tebal yang judulnya “larangan melontarkan ucapan-ucapan buruk pada seseorang.” CETAR! Langsung saya baca terjemahannya.
(148) yang artinya Allah tidak menyukai ucapan buruk* (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali orang-orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui. (149) Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafakan sesuatu kesalaahan (orang lain) maka sesungguhnya Allah lagi Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa
*memaki mencela
Ya meski sebenarnya saya tidak mengucapkannya secara langsung, hehe.. tapi ayat itu sungguh membuat saya malu sama Allah. Kesalahan yang waktu itu saya mengira adalah masalah kecil, ternyata tidak bagi Allah, sehingga Dia harus mengingatkanku dua kali. Yah padahal sebenarnya saat itu saya juga sudah berfikir positif: Mungkin dua orang tadi memang lebih membutuhkan angkot itu daripada saya. Tapi tetep saja saya rasanya jengkel mengingat aku perempuan, ada di barisan depan saat menunggu dan menstop angkot, hujan lagi. Namun, tetap saja aku bukan golongan orang teraniaya sehingga tak pantas memaki orang sekalipun itu tidak langsung. ^semoga bermanfaat^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H