Mohon tunggu...
Mimpin Sembiring
Mimpin Sembiring Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Psikologi pada Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Delitua Medan

Suka belajar dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Rumah Cinta. Mengubah Masa Lalu...? It's IMposible. Mindfulness: Merespons Masa Kini dan Masa Depan

30 Januari 2025   07:33 Diperbarui: 30 Januari 2025   07:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                          Sumber: AI


Membangun Rumah Cinta

Mengubah Masa Lalu…? It’s Imposible

Mindfulness:  Kita Merespons Masa Kini &  Masa Depan

Oleh: Dr. Drs. Mimpin Sembiring, M.Psi. C.Ht®

 

(Bagian 1 dari 2 tulisan)

Pendahuluan

Setiap orang, dalam perjalanan hidupnya, memimpikan sebuah rumah. Tapi, rumah yang benar-benar berarti, bukan sekadar bangunan dengan dinding bata dan atap genteng. Rumah yang sejati. Ia adalah tempat di mana hati kita merasa aman, jiwa kita bisa berteduh, dan cinta menjadi dasar setiap ruangnya. Itulah yang disebut rumah cinta – sebuah metafora yang mewakili hubungan emosional yang penuh kasih, stabil, dan menyembuhkan.

Namun, apa jadinya jika masa lalu kita seperti badai yang meruntuhkan fondasi? Sebuah masa yang seringkali membekas seperti bayangan panjang di sore hari, mengikuti langkah kita ke mana pun kita pergi. Masa lalu, terutama bagi mereka yang tumbuh di tengah konflik, luka batin, atau rasa kehilangan, kadang terasa seperti puing-puing yang menumpuk, menahan kita untuk melangkah. Tapi apa kita bisa mengubahnya? Tidak. Masa lalu adalah sesuatu yang permanen, tak tersentuh oleh upaya sebesar apa pun.

Namun, di sinilah letak keindahannya: meskipun masa lalu tak dapat diubah, cara kita menyikapinya bisa. Ibarat arsitek yang merancang ulang puing-puing bangunan lama menjadi sesuatu yang baru, kita juga punya kemampuan untuk menciptakan fondasi yang kokoh dari pengalaman hidup yang pernah rapuh. Dengan fokus pada apa yang bisa kita kendalikan – yaitu respons kita terhadap masa kini dan masa depan – kita dapat membangun rumah cinta yang sebenarnya.

Bayangkan, masa lalu seperti serpihan kaca. Melukai saat disentuh, tapi jika dirangkai dengan sabar, bisa menjadi mozaik yang indah. Ya, kita tidak sedang berbicara tentang melupakan masa lalu. Sebaliknya, ini tentang menerima masa lalu sebagai bagian dari perjalanan, tetapi tidak membiarkannya mendikte masa depan kita.

Harapan adalah bahan utama. Dengan harapan, kita bisa mengubah kerikil masa lalu menjadi taman penuh bunga. Dengan harapan, kita bisa belajar mencintai lagi, memercayai lagi, dan akhirnya, pulang ke rumah yang selama ini kita impikan.

Mengapa Masa Lalu Tak Bisa Diubah?

Masa lalu adalah ruang yang terkunci, sebuah lorong waktu yang hanya bisa dilihat, tapi tak pernah bisa dimasuki lagi. Ia adalah guratan pada batu, jejak yang tak dapat dihapus, tak peduli seberapa keras kita mencoba. Masa lalu, seperti matahari yang telah tenggelam, tidak akan pernah terbit di tempat yang sama. Ia menjadi permanen, sebuah kenangan yang hanya bisa diingat, bukan diubah.

Dalam perjalanan hidup, banyak dari kita yang membawa beban masa lalu. Sebuah luka yang kadang tak terlihat tetapi terasa begitu nyata. Mereka yang tumbuh dalam keluarga yang retak, misalnya, sering kali membawa retakan itu ke dalam jiwanya. Sebuah rasa kehilangan yang sulit dijelaskan, seperti dinding rumah yang kosong tanpa suara tawa. Trauma, konflik, atau kepergian seseorang meninggalkan bekas yang tak mudah hilang.

Luka masa lalu sering kali hidup dalam bayangan perilaku kita, meski sering tidak disadari. Seorang anak yang tumbuh dengan ketakutan ditinggalkan, mungkin tumbuh menjadi seorang dewasa yang cemas, selalu mencari jaminan cinta tetapi takut untuk benar-benar mempercayainya. Atau mungkin ia menjadi seseorang yang menghindari keintiman, membangun tembok tinggi agar tak ada yang bisa menyakitinya lagi. Luka itu, meskipun tidak terlihat, sering menyusup dalam kata-kata, dalam keputusan, dan dalam cara kita memandang dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun