Seminar Proposal Tanpa Overthinking: Sederhana Berpikir dengan Mindfulness
Oleh: Dr. Drs. Mimpin Sembiring, M.psi. C.Ht®
I. Pendahuluan
Mempersiapan diri untuk menghadapi seminar proposal sering kali menjadi momok yang menakutkan, bukan karena ketidaksiapan materi, tetapi karena beban yang kita letakkan di atas kepala kita sendiri. Di balik setiap persiapan, ada suara kecil yang mengintip dari balik ketakutan. "Apa yang terjadi kalau ide saya ditolak?" atau "Bagaimana jika saya tidak bisa menjawab pertanyaan dengan baik?" Begitu banyak hal yang dicemaskan, Begitu banyak kekhawatiran yang tak perlu, namun entah bagaimana, kegelisahan itu bisa merasuk ke dalam setiap sudut pikiran kita. Pikiran yang berlarian ini seringkali lebih mengganggu daripada ketidaksiapan itu sendiri. Kita terjebak dalam apa yang belum terjadi, menggali lubang yang lebih dalam dari apa yang sebenarnya bisa kita hadapi. Itulah overthinking—sebuah siklus yang tiada ujungnya.
Dan ketika kita semakin larut dalam kekhawatiran, semakin besar pula tekanan yang kita rasakan. Kita merasa cemas dan terjepit dalam imajinasi kita sendiri, seolah-olah seminar proposal adalah ujian terbesar yang harus kita lewati dengan sempurna. Semua hal yang belum pasti, yang belum terjadi, terasa begitu nyata. Setiap langkah menuju seminar menjadi langkah penuh ketakutan dan ragu. Seakan-akan, kita sudah gagal sebelum mencoba. Overthinking merampas ketenangan kita, mengaburkan pandangan kita akan peluang yang ada. Kita lupa bahwa kesalahan itu bukanlah musuh. Kita lupa bahwa ada keindahan dalam ketidaksempurnaan, bahwa proses belajar itu tidak selalu harus mulus.
Di sinilah pentingnya untuk mengingat bahwa overthinking hanya menghalangi kita untuk menikmati perjalanan ini. Semakin kita terjebak dalam pikiran-pikiran yang berlarian itu, semakin kita terperangkap dalam kecemasan yang tidak perlu. Padahal, seminar proposal ini adalah kesempatan, bukan ancaman. Kesempatan untuk berbagi ide, untuk belajar, untuk tumbuh. Di sini, di tengah kekhawatiran yang menggumpal, mindfulness mengajarkan kita untuk kembali ke sini dan sekarang—untuk berhenti sejenak, bernapas dalam-dalam, dan menerima setiap momen tanpa harus terikat pada apa yang akan atau tidak akan terjadi. Mindfulness mengingatkan kita bahwa kita tidak perlu sempurna, kita hanya perlu hadir dan mencoba. Dan itu sudah cukup.
II. Minfulnes sebagai solusi Sederhana
A. Sekilas tentang Minfulness
Mindfulness itu, sebenarnya, seperti ketika kita belajar diam di tengah kebisingan. Bukan diam yang kosong, tapi diam yang sadar. Kita mulai dengan menyadari napas—ya, napas yang selama ini kita anggap remeh. Kita perhatikan masuknya udara, keluarnya udara, lalu perlahan kita merasa hadir. Hadir di sini dan sekarang, tanpa perlu buru-buru menilai atau menghakimi apa pun. Kalau sedang gugup menjelang seminar proposal, misalnya, mindfulness mengajak kita untuk menerima rasa gugup itu apa adanya. “Oh, jadi ini yang namanya gugup,” batin kita, sambil tersenyum kecil. Bukannya melawan, kita malah diajari untuk mengenalnya dengan tenang, seperti bertemu teman lama.
Manfaatnya? Jangan tanya. Pikiran yang tadi meloncat-loncat ke segala arah, seperti anak kecil bermain layangan, mendadak tenang. Kita belajar mengendalikan fokus, bukan pada “Apa kata dosen nanti?” atau “Bagaimana kalau semuanya berantakan?” Tapi pada hal-hal sederhana: suara kita, ide yang sudah kita siapkan, dan kepercayaan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mindfulness ini bukan sihir, tapi rasanya hampir ajaib. Ia tak menghapus masalah, tapi membantu kita melihatnya dengan mata yang lebih jernih. Dan dalam suasana setenang itu, seminar proposal yang menakutkan jadi hanya bagian kecil dari perjalanan panjang yang bisa dinikmati.