Berdamai dengan Diri Sendiri, Sesama, Takdir, dan Tuhan Lewat Jalan Mindfulness
Oleh: Dr. Drs. Mimpin Sembiring, M.Psi. C.Ht®
A. Pendahuluan
1. Konflik dengan Diri Sendiri
"Pernahkah Anda merasa terjebak dalam konflik dengan diri sendiri?”
Pernahkah, di tengah malam yang sunyi, Anda berbaring menatap langit-langit kamar, bukan karena Anda ingin tidur, tapi karena ada sesuatu di dalam diri yang terasa berat? Ada percakapan yang tidak kunjung selesai. Anehnya, percakapan itu terjadi bukan dengan orang lain, melainkan dengan diri sendiri.
Kita ini sering menjadi hakim bagi diri sendiri. Kita menghakimi keputusan yang “salah”, sikap yang “keliru”, dan bahkan perasaan yang kita tahu seharusnya tak perlu ada. “Kenapa aku begini? Kenapa aku tidak seperti dia?” Pertanyaan itu seperti tamparan yang tak berhenti, memukul bagian hati yang paling rapuh.
Tapi, tidakkah itu melelahkan?
Bayangkan: Anda berjalan sendirian di sebuah jalan yang panjang. Tidak ada siapa-siapa, hanya diri Anda. Tapi anehnya, langkah Anda terasa begitu berat, bukan karena medan yang sulit, melainkan karena Anda membawa sesuatu yang tak terlihat—penyesalan, kesedihan, kemarahan, keraguan, dan harapan yang tak kesampaian.
Bukankah itu ironis? Kita tahu ada yang tidak beres, ada beban berat yang kita pikul, tapi kita tidak tahu bagaimana cara melepaskannya. Alih-alih untuk berdamai, kita malah terperosok dalam sikap mengutuki diri sendiri.
Sebenarnya, hidup ini tidak selalu harus rumit. Mungkin yang perlu kita lakukan bukan bersikeras untuk mencari jawabannya: “Kenapa, kenapa, kenapa?” , melainkan untuk menerima kenyataan bahwa hidup kita ini adalah sebuah perjalanan panjang. Bahwa setiap kegagalan, setiap kepedihan, setiap pertanyaan yang tanpa jawaban, adalah bagian dari cerita perjalanan kehidupan yang masih tanda koma, belum selesai, belum tanda titik.