"Pak Wahyu, saya tahu saya bukan pemuda terbaik di desa ini. Tapi saya serius ingin menikahi Sri. Saya akan bekerja keras untuk membuktikan diri."
Wahyu terkejut mendengar permintaan itu. "Nanang, kamu yakin dengan keputusanmu? Kamu tahu, Sri itu anak yang mandiri. Dia gak akan mudah luluh hanya karena kata-kata manis."
"Saya tahu, Pak. Tapi saya akan terus mencoba. Saya benar-benar ingin Sri jadi pendamping hidup saya."
Wahyu akhirnya setuju untuk membicarakan hal ini dengan Sri, meski ia tahu keputusan terakhir tetap ada di tangan putrinya.
Ketika Wahyu menyampaikan lamaran itu, Sri merasa bingung. Ia tidak pernah membayangkan Nanang akan sejauh ini. Namun hatinya tetap ragu. "Ayah, saya butuh waktu untuk berpikir. Saya gak yakin Mas Nanang bisa berubah."
Beberapa minggu kemudian, Desa Eretan dikejutkan oleh berita bahwa Nanang mulai bekerja di salah satu kapal nelayan. Ia bahkan berhenti nongkrong dengan teman-temannya yang suka mabuk-mabukan. Warga mulai melihat perubahan dalam diri Nanang, dan gosip tentangnya mulai mereda.
Sri pun mulai memperhatikan usaha Nanang. Ia tidak bisa memungkiri bahwa pemuda itu benar-benar berusaha membuktikan dirinya. Namun ia masih ingin memastikan perasaan hatinya.
Suatu hari, Nanang datang lagi ke tempat penjemuran ikan asin. Kali ini, ia membawa sekeranjang ikan segar. "Sri, ini buat kamu. Aku nangkep ikan ini sendiri tadi pagi. Aku pengin bantu kamu kerja, biar gak terlalu capek."
Sri terkejut, namun ia menerima keranjang itu dengan hati-hati. "Terima kasih, Mas. Tapi kenapa harus sejauh ini?"
Nanang tersenyum. "Karena aku yakin, Sri. Aku yakin kamu adalah orang yang ingin aku bahagiakan seumur hidupku."
Sri terdiam. Kata-kata itu berhasil mengetuk hatinya yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Mungkin, hanya mungkin, Nanang memang pantas mendapatkan kesempatan.