Mohon tunggu...
mimin sugiarto
mimin sugiarto Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Menjadi netizen jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Remang di Balik Perda

18 Desember 2024   06:39 Diperbarui: 18 Desember 2024   06:39 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, di sebuah warung remang-remang di pinggiran kota, Wati duduk termenung. Wajahnya tampak letih, namun senyumnya dipaksakan saat seorang pria paruh baya masuk. Rok mini dan riasan tebal menutupi luka-luka lelah yang tak terlihat.

"Masih sepi, Teh?" tanya pria itu dengan nada bercanda.

"Sepi nggak sepi, yang penting dapur ngepul," balas Wati sambil menuangkan kopi ke gelas plastik.

Pria itu tertawa kecil, matanya melirik ke arah Wati dengan pandangan tak asing lagi baginya. Wati sudah terlalu sering menghadapi tatapan seperti itu. Sejak suaminya pergi meninggalkannya dengan dua anak yang masih kecil, dia tak punya pilihan. Mencari kerja di pabrik sudah dia coba, tapi ijazah SMP-nya tak laku.

"Perda ini buat siapa sih?" gumam Wati sambil menyalakan sebatang rokok, tatapannya kosong ke luar warung. Lampu jalan berkedip-kedip, menambah suasana sunyi yang ganjil. Perda yang katanya melarang aktivitas warung remang-remang hanya jadi hiasan di baliho besar di jalan raya.

Setiap malam, aparat penegak hukum (APH) sering lewat. Kadang-kadang mereka menegur, tapi lebih sering mereka diam. Ada yang mampir, sekadar minum kopi dan berbincang ringan. Beberapa kali Wati melihat mereka bercanda dengan pemilik warung.

"Katanya mau dirazia, tapi kok malah pada ngopi di sini," pikir Wati.

Suatu malam, razia benar-benar datang. Mobil patroli dengan sirene keras berhenti di depan warung. Semua perempuan yang ada di sana panik. Wati buru-buru masuk ke dapur belakang, bersembunyi di balik tumpukan karung beras.

"Semua keluar! Ini razia!" teriak petugas berseragam lengkap.

Beberapa perempuan terpaksa keluar dengan wajah ketakutan. Sebagian dari mereka menangis. Mereka tak tahu apa kesalahannya selain berjuang mencari nafkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun