Malam itu, di sebuah warung remang-remang di pinggiran kota, Wati duduk termenung. Wajahnya tampak letih, namun senyumnya dipaksakan saat seorang pria paruh baya masuk. Rok mini dan riasan tebal menutupi luka-luka lelah yang tak terlihat.
"Masih sepi, Teh?" tanya pria itu dengan nada bercanda.
"Sepi nggak sepi, yang penting dapur ngepul," balas Wati sambil menuangkan kopi ke gelas plastik.
Pria itu tertawa kecil, matanya melirik ke arah Wati dengan pandangan tak asing lagi baginya. Wati sudah terlalu sering menghadapi tatapan seperti itu. Sejak suaminya pergi meninggalkannya dengan dua anak yang masih kecil, dia tak punya pilihan. Mencari kerja di pabrik sudah dia coba, tapi ijazah SMP-nya tak laku.
"Perda ini buat siapa sih?" gumam Wati sambil menyalakan sebatang rokok, tatapannya kosong ke luar warung. Lampu jalan berkedip-kedip, menambah suasana sunyi yang ganjil. Perda yang katanya melarang aktivitas warung remang-remang hanya jadi hiasan di baliho besar di jalan raya.
Setiap malam, aparat penegak hukum (APH) sering lewat. Kadang-kadang mereka menegur, tapi lebih sering mereka diam. Ada yang mampir, sekadar minum kopi dan berbincang ringan. Beberapa kali Wati melihat mereka bercanda dengan pemilik warung.
"Katanya mau dirazia, tapi kok malah pada ngopi di sini," pikir Wati.
Suatu malam, razia benar-benar datang. Mobil patroli dengan sirene keras berhenti di depan warung. Semua perempuan yang ada di sana panik. Wati buru-buru masuk ke dapur belakang, bersembunyi di balik tumpukan karung beras.
"Semua keluar! Ini razia!" teriak petugas berseragam lengkap.
Beberapa perempuan terpaksa keluar dengan wajah ketakutan. Sebagian dari mereka menangis. Mereka tak tahu apa kesalahannya selain berjuang mencari nafkah.
"Pak, kami cuma jual kopi, Pak," kata seorang perempuan tua yang berdiri di dekat pintu.
Petugas itu tak peduli. Beberapa dari mereka sibuk mencatat nama dan mengambil foto. Tapi anehnya, pemilik warung yang dikenal akrab dengan petugas itu malah diajak bercanda. Tak ada pembongkaran atau penyitaan.
Razia itu selesai dalam satu jam. Beberapa perempuan dibawa ke kantor. Wati berhasil lolos malam itu, tapi pikirannya tak bisa tenang.
"Kenapa cuma kita yang disalahin, padahal mereka juga tahu kita butuh makan?" batinnya meledak-ledak.
Esoknya, warung itu kembali buka seperti biasa. Perda masih terpampang di baliho besar di ujung jalan, mengingatkan bahwa warung remang-remang dilarang. Tapi kenyataannya, semua berjalan seperti biasa.
Wati menghela napas panjang. Dia tahu, besok, lusa, dan entah sampai kapan, dirinya akan tetap duduk di warung itu, melayani tamu-tamu dengan senyum palsu. Perda itu hanya sebuah teks kaku, sementara perutnya dan perut anak-anaknya butuh makan yang nyata.
"Yang melanggar siapa, yang dipenjara siapa," bisiknya dengan tatapan kosong ke arah jalan. Mobil patroli melintas pelan. Salah satu petugas di dalam mobil melambai padanya. Wati hanya membalas dengan senyum hambar, tanpa arti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H