Cahaya matahari enggan menampakkan diri. Awan hitam berarak. iringi kedatangannya ke kantor Kelurahan yang terletak diujung Kampung. Dan baru beberapa langkah kakinya menyapa lantai kantor, awan hitam pun pecah.Â
Lelaki setengah baya itu langsung masuk ke dalam ruangan kerjanya yang asri. Perabotan artistik dalam ruangan itu menyambut kedatanganya dengan wajah lesu. Wajahnya terpotret sangat lelah. Guratan ketuaan tergambar dari wajahnya. Guratan ketuaan terlihat nyata dikeningnya.
Lelaki setengah baya yang biasa disapa Pak Lurah oleh warganya, menengok ke halaman Kantor. Hujan menguyur bumi dengan lebatnya. Sesekali dentuman petir memekakkan gendang telinganya.Â
Pak Lurah masih memandang sekitar kantornya lewat jendela kaca dari  ruang kerjanya. Beberapa bulan lagi, ruangan kerja ini akan ditinggalkannya. Ya, dia akan meninggalkan ruangan kerja yang telah dihuninya hampir sepuluh tahun. Ya, hampir sepuluh tahun. Bel dimeja kerjanya ditekannya.
Dan hanya dalam hitungan detik, beberapa orang sudah berada dihadapannya dengan sikap hormat. Pak Lurah mempersilahkan mereka, para staffnya untuk duduk di meja rapat yang berada persis di depan ruang kerjanya.
" Saya heran....," desisnya pelan.
" Saya sungguh heran bahkan teramat heran. Semua orang menuduh saya sebagai dalang dibelakang pencalonan para calon Lurah kampung kita ini. Padahal saya tidak pernah melakukan apa yang mereka tuduhkan," lanjutnya.
" Apakah saya tidak boleh bersama dengan para calon Lurah?," tanyanya.
" Apakah saya harus menutup diri dari mereka?," lanjutnya.
" Apakah mereka tidak boleh bersilahturahmi dengan saya, Lurah sekarang?," tanyanya.
Para stafnya tak menjawab. Mereka diam seribu bahasa. Mulut mereka seolah terkunci. Mereka hanya melihat wajah Pak Lurah penuh dengan kegelisahan. terpotret kebimbangan dari raut wajahnya.
Cahaya rembulan malam tampak mempesona. Seiring terpesonanya Pak Lurah menyaksikan tarian bintang dilangit yang eksotis. Raut wajahnya diliputi kebahagian menyaksikan atraksi dari penghuni jagad raya ini sehingga Pak Lurah tak menyadari seorang pegawainya berada di sekitarnya tanpa dipedulikannya.
Pak Lurah seolah kaget saat melihat stafnya masih berdiri tegak.
" Silahkan diminum kopinya Pak," ajak Pak Lurah kepada staffnya sembari mempersilahkannya duduk.
tatapan Pak Lurah masih mendongak ke langit. Keeksotisan langit membuatnya bahagia. Dalam beberapa saat, semburan kebahagian terbersit dari wajahnya. Setidaknya itu yang terpotret dari penilaian Stafnya.
" Aku memanggilmu ke rumah ini untuk berkonsultasi," suara Pak Lurah terdengar lesu.
" Apakah aku salah membiarkan para calon Lurah itu memasang fotoku bersama mereka? Apakah aku harus  melarang mereka memasang foto ku bersama mereka? Aku kan harus netral. Tidak berpihak kepada kandidat manapun," ujar Pak Lurah.
" Langkah Pak Lurah sudah tepat," sahut stafnya.
" Nah...Pertanyaannya, kenapa publik menilai aku bermain tiga kaki? Aku mereka tuduhkan bermain dengan ketiga calon lurah," suara Pak Lurah meninggi.
Stafnya cuma terdiam. Desahnya terasa panjang. Sepanjang perintah Pak Lurah kepada dirinya untuk mendekatkan putranya yang sedang menimba ilmu di Universitas di Kota untuk bergandengan tangan dengan para kandidat Lurah yang akan berkompetisi.
Pak Lurah tampaknya mulai dilanda penyakit amnesia. Bagaimana lewat Stafnya, dia bertemu dengan kandidat Lurah di rumahnya saat tengah malam. Pak Lurah tampaknya lupa. bagaimana dia menyuruh Staffnya untuk mengajak putranya digandeng para Calon Lurah itu dalam kontestasi demokrasi kampung mereka.
" Apakah warga tahu bahwa para calon Lurah pernah datang ke rumah Bapak," suara stafnya terdengar bergetar. Ada ketakutan yang luarbiasa dari intonasi suaranya.
Mendengar suara itu, seketika tubuh Pak Lurah tumbang. Wajahnya menyapa ubin rumahnya.Â
Malam semakin melarut. Selarut duka yang didengar warga kampung tentang Pak Lurah. Ya, Lurah mereka kini harus berbaring dirumah sakit hingga waktu yang lama. Mukanya mengalami kerusakan fatalÂ
Toboali, 20 Agustus 2023
Salam literasi dari Kota Toboali, Bangka Selatan
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H