Cahaya rembulan malam tampak mempesona. Seiring terpesonanya Pak Lurah menyaksikan tarian bintang dilangit yang eksotis. Raut wajahnya diliputi kebahagian menyaksikan atraksi dari penghuni jagad raya ini sehingga Pak Lurah tak menyadari seorang pegawainya berada di sekitarnya tanpa dipedulikannya.
Pak Lurah seolah kaget saat melihat stafnya masih berdiri tegak.
" Silahkan diminum kopinya Pak," ajak Pak Lurah kepada staffnya sembari mempersilahkannya duduk.
tatapan Pak Lurah masih mendongak ke langit. Keeksotisan langit membuatnya bahagia. Dalam beberapa saat, semburan kebahagian terbersit dari wajahnya. Setidaknya itu yang terpotret dari penilaian Stafnya.
" Aku memanggilmu ke rumah ini untuk berkonsultasi," suara Pak Lurah terdengar lesu.
" Apakah aku salah membiarkan para calon Lurah itu memasang fotoku bersama mereka? Apakah aku harus  melarang mereka memasang foto ku bersama mereka? Aku kan harus netral. Tidak berpihak kepada kandidat manapun," ujar Pak Lurah.
" Langkah Pak Lurah sudah tepat," sahut stafnya.
" Nah...Pertanyaannya, kenapa publik menilai aku bermain tiga kaki? Aku mereka tuduhkan bermain dengan ketiga calon lurah," suara Pak Lurah meninggi.
Stafnya cuma terdiam. Desahnya terasa panjang. Sepanjang perintah Pak Lurah kepada dirinya untuk mendekatkan putranya yang sedang menimba ilmu di Universitas di Kota untuk bergandengan tangan dengan para kandidat Lurah yang akan berkompetisi.
Pak Lurah tampaknya mulai dilanda penyakit amnesia. Bagaimana lewat Stafnya, dia bertemu dengan kandidat Lurah di rumahnya saat tengah malam. Pak Lurah tampaknya lupa. bagaimana dia menyuruh Staffnya untuk mengajak putranya digandeng para Calon Lurah itu dalam kontestasi demokrasi kampung mereka.
" Apakah warga tahu bahwa para calon Lurah pernah datang ke rumah Bapak," suara stafnya terdengar bergetar. Ada ketakutan yang luarbiasa dari intonasi suaranya.