Cerpen : Kesumat Perempuan Malang
Cahaya purnama mulai membangkrut. Di ujung kampung yang dipenuhi pohon-pohon yang kekar dan menjadi tempat sampah para kaum jalang kampung biasa bersuka ria, nurani perempuan itu terkoyak-koyak. Raganya dihantam belati kelaki-lakian kaum begundal. Darah merah mengucur deras, Membasahi bumi. Membasahi ranting kayu yang belum remaja. Mengaliri dedaunan yang patah diinjak para pemburu di rimba Kampung.
Sementara di atas awan, rembulan menetes airmata. Sinarnya redup. Sinar purnama tak mengembang pesonanya. Alam kelam. Semesta merintih. Â Malam semakin rentah. Makin menjauh. Sejauh sekelompok orang yang pergi dengan langkah kaki bergegas tanpa nurani. Meninggalkan rimba Kampung dengan rasa ketergesaan yang berbalut ketakutan.
Perempuan itu bangkit dengan menyeringai menahan rasa nyeri. Bersandar di batang pepohonan yang kekar dengan napas terengah-engah. Menyeka airmata yang menetes dari kelopak matanya dengan lengan bajunya yang koyak. Matanya nanar menatap sekitar. Mencari jejak.
Dikejauhan malam, terdengar suara kendaraan samar-samar. Suara ayat-ayat suci mulai terdengar dari corong pengeras suara masjid. Perempuan itu melangkah dengan mengumpul sisa tenaga seadanya. Menepi dengan sekujur tubuh gemetar di jalanan Kampung yang tak bertuan dan amat sepi . Dengus anjing liar hutan yang mencari mangsa tak terdengar.
Perempuan itu berduka. Kemalangan jiwa membius sekujur raganya. Suara hati tak mampu dilawannya. Suara jiwa tak mampu dihalaunya. Perempuan muda yang tumbuh menjadi gadis yang amat menarik bibir para lelaki untuk bersiul itu, kini merana. Sebagai perempuan muda di Kampung, dia tak pernah menghitung berapa banyak laki-laki di kampungnya yang dengan suka rela mematahkan hatinya karena dia dan keluarganya selalu menolak para lelaki masuk rumahnya sudah tak bisa dihitung, terlebih jika ia miskin.Â
Hanya laki-laki kampung berduit yang beruntung bisa masuk rumah perempuan muda itu, dan bertatap muka dengannya. Biasanya setelah bertamu mereka selalu menyombongkan diri dan mengaku telah dijamu dengan baik. Beberapa bahkan mengaku pernah tidur dengan perempuan muda itu.Â
Pertengkaran antar para lelaki kampung karena cemburu biasanya tak tertahankan setelahnya. Padahal sedikit senyum-pun tak pernah menghiasi bibir perempuan muda itu. Mereka yang masuk biasanya disajikan teh hangat. Diam menatap perempuan muda itu seperti kucing menatap ikan asin yang sedang dilahap harimau. Sebuah  perpaduan antara keinginan menggebu dan nyali yang ciut.
" Aku harus membalas dendam," suara hatinya berdesis mengibar bendera kegeraman jiwanya yang kusut masai
" Kamu memang harus membalas dendam. Harus membalas dendam," tiba-tiba sebuah suara muncul seketika di gendang telinganya.
Perempuan muda itu menoleh. Tak ada siapa-siapa. Kecuali kesunyian.
" Kamu tak boleh menyerah. Habisi mereka. Mereka telah membuatmu menderita," suara itu kembali hadir dikuping hati perempuan itu.
" Aku seorang perempuan. Mana bisa melawan mereka," rintih suara hati perempuan itu.
" Tak ada kata yang tak bisa untuk menaklukan mereka, para jahanam itu. Tekadkan dalam jiwamu," seru suara itu lagi.
Perempuan itu tergoda. Perempuan itu mengamnesiakan dirinya. Melupakan pesan suci orang tuanya. Mengabaikan pesan sakral guru ngajinya. Menghalalkan segala cara untuk melawan. Perempuan itu melupakan segalanya. Meruntuhkan nilai-nilai kehidupan yang dianutnya. Mengabaikan etika kehidupan. Yang terbersit dalam dadanya yang penuh gemuruh, hanya diksi balas dendam dan balas dendam. Hanya diksi itu.
Arahan dari suara bisikan gaib itu, menghantarkan perempuan malang itu menjelajahi alam. Mendaki gunung. Melewati bukit. Menembus rimba. Â Melintasi lautan. Menerjang badai. Semuanya hanya untuk memuaskan nafsu malangnya. Arahan suara bisikan itu menghantarkannya untuk melawan dan melawan demi harga diri yang terkoyak-koyak.
" Saatnya mereka menerima balasan darimu" suara bisikan itu menembus nurani perempuan itu.