" Zainal," desis dari bibir tipisnya.
Zainal adalah teman sekampung dan sepermainan kecilnya. Menginjak dewasa benih-benih cinta yang mengaliri jiwa Zainal tak diresponnya dengan baik. Maklum Zainal adalah anak seorang petani. Benih-benih cinta Zainal layu dimakan tahta.
Dirinya lebih memilih menikah dengan Nomas anak Pak Lurah. Walaupun tak ada getaran cinta yang mengaliri darah cinta dalam jiwanya, dengan apologi untuk mereparasi martabat dan kehidupan, dia terpaksa harus memulai hidup sebagai istri anak petinggi Desa.Â
Impian untuk hidup bahagia hanya impian. Sifat Nomas yang hobby berpoya-poya dan dekat dengan kedugeman ala Desa membuatnya hanya mampu bertahan sesuai anak semata wayangnya lahir. Dan dirinya mendengar kabar bahwa Zainal kini telah menjadi lelaki berharta di Kota.
Dan dengan bekal kecantikan dirinya merantau ke Kota yang penuh dengan onak dan minimnya rasa simpati serta kemanusian dari penghuninya. Dirinya pun harus terhempas diganasnya kehidupan Kota sebagai penghias malam.Â
Awalnya sebagai pendatang baru, dirinya adalah ratu. Kemanjaan dari para lelaki pemuncrat syahwat membuatnya seolah baru terlahir kembali sebagai perempuan.Â
Dan kehidupan keluarganya di Kampung mulai terlihat. Selain rumah permanen, terparkir kendaraan roda dua merk terkenal dan terbaru sebagai pengantar anaknya yang mulai menuntut ilmu.
Siklus kehidupan didunia selalu terjadi. Tak ada yang abadi. Kadang diatas, kadang dibawah. Lahirnya para penggairah muda baru membuatnya kalah berkompetisi di dunia syahwat yang makin moderen dan up to date.Â
Dan kini dia harus terdampar dideretan rumah tanpa nurani yang amat memilukan. Tak ada pendingin ruangan.Â
Tak ada kasur merk terkenal. Yang ada hanya kasur ala kadarnya sebagai pengganjal para pemuas syahwat malam klas teri yang baunya sering kali mematikan selera malamnya yang bergejolak sebagai manusia.
" Saya ingin mengajakmu pulang. Dan kita menikah," ujar lelaki itu.
' Tak mungkin," jawabnya.
" Sangat mungkin sekali. Aku lajang dan kamu tak bersuami," kata lelaki itu.
" Tapi,"
" Manusia bukan diukur dari pebuatannya. Tapi dari hatinya. Dari martabatnya,"
" Apa kata orang nantinya?,"
' Silahkan orang mau mengumbar sejuta kalimat tentang kamu dan aku. Toh kita yang akan menikmatinya. Kita yang menjalaninya,"
" Anakku?,"
" Anakmu adalah anakku juga. Kita pulang ke kampung dan memulai hidup baru disana. Membangun sebuah keluarga baru dengan jiwa baru. Subuh nanti malam kita pulang. Aku sudah mempersiapkan segalanya,"
" Mpok?."
" Aku sudah jelaskan kepada Mpok Tua. Dan beliau bahagia. Sangat bahagia sekali,"