Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Pagi Ini, Ada Berita Tangkap Tangan di Suratkabar

17 Oktober 2021   00:48 Diperbarui: 18 Oktober 2021   22:59 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen : Pagi Ini, Ada Berita Tangkap Tangan di Suratkabar

Cahaya matahari diufuk timur sedang berkemas-kemas.  Sinarnya tak sepenuh hati menerangi bumi.Ada rasa enggan yang menyelinap dalam sinar terangnya. 

Sementara lalu lalang kendaraan roda dua dan empat mulai meramaikan jalanan. Debu dan suara knalpot saling berkejaran. Penuhi jalanan. Derap langkah para petani menghiasi jalan setapak menuju lahan kehidupan. Anak-anak masa depan bangsa mulai berhamburan meninggalkan rumah kedamaian menuju rumah pengetahuan. Para pemikul beban hidup keluarga pun berseleweran menuju tempat mengais rezeki.

Di sebuah rumah mewah dengan arsitektur terkini, seorang lelaki setengah baya sedang asyik membaca koran lokal. Dahinya berkerut. Sesekali wajahnya tampak memerah. Dan tiba-tiba, koran yang dibacanya belum habis, langsung dihempaskan di meja. "Sial. Belum tahu siapa aku," umpat lelaki yang dikenal dengan julukan Pak Besar. Dalam hitungan detik, diraihnya sebuah handphone merek terkini. Beberapa digit nomor terpencet. 

Tut...tut...tut... 

Tersambung.
"Selamat pagi. Dengan Surat Kabar Mingguan Kabar Burung. Ada yang bisa dibantu?," sapa seorang wanita di ujung telepon dengan suara lembut.
"Saya Pak Besar. Bisa bicara dengan Pak Liluk," jawabnya dengan suara sangat keras.
"Mohon maaf Pak. Beliau belum di tempat. Ada pesan?" ujar wanita itu.
"Sampaikan kepada Pak Liluk. Perjanjian hari ini batal. Batal," kata Pak Besar langsung mematikan telepon.

Mentari mulai meninggi. Seorang lelaki muda berbalutkan jaket kulit buatan dalam negeri tiba di sebuah gedung kuno peninggalan Belanda. Sebuah papan nama terpampang di depan gedung tua itu "Surat Kabar Mingguan Kabar Burung".  

Usai memarkirkan kendaraan roda duanya, lelaki muda itu langsung naik ke lantai dua. Sapaan hai dan apa kabar, dia gemakan ke beberapa orang yang ditemuinya sembari mengembangkan senyumnya yang khas dan menggoda. Baru saja melepaskan kepenatan dengan duduk di kursi, tiba-tiba suara lembut seorang wanita memanggil namanya.
"Bang Remi. Dipanggil Bos. Penting," ujar wanita itu.
"Iya. Sebentar," ujar lelaki yang bernama Remi.

Dengan langkah penuh keterpaksaan, Remi menuju ruangan Pak Liluk yang merupakan pimpinan perusahaan sekaligus pemimpin redaksi Suratkabar Mingguan Kabar Burung. Tok...tok.. tangannya mengetuk pintu.
"Bapak memanggil saya?," ujar Remi setengah bertanya dan langsung duduk di kursi yang ada di hadapan pimpinanya itu.
"Iya. Hari ini headline koran kita jadi perbincangan di mana-mana. Berita yang kamu tulis menggegerkan jagad daerah ini. Banyak tanggapan berdatangan. Ratusan sms mengalir ke HP saya. Itu sangat bagus. Dan yang mengejutkan juga, Pak besar, konglomerat terbesar di daerah kita ini juga membatalkan kerjasamanya dengan koran kita. Jadi skornya satu-satu," jelas Pak Liluk sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.
"Saya menuliskan berita itu berdasarkan fakta peristiwa dan fakta pendapat. Saya juga melakukan check dan recheck. Beragam narasumber yang berkompten saya hubungi. Bahkan Pak Besar pun saya wawancarai. Kan itu yang selalu bapak ajarkan dan tekankan kepada kami sebagai jurnalis," jelas Remi.
"Tulisanmu benar dan akurat. Dan setiap berita ada konsekuwensinya. Bagi koran kita ini, yang hidupnya Senin Kamis, upaya untuk mendapatkan suntikan dana dari Pak Besar sudah tertutup. Jadi kita harus siap menerima konsekuwensinya," ujar Pak Liluk.
"Kita kan sudah terbiasa dengan style seperti ini Pak. Jadi kenapa kita harus mengorban idealisme kita hanya untuk sesuatu yang belum tentu bermanfaat bagi kehidupan orang ramai," kata Remi. 

Keduanya terdiam. Tak ada suara sama sekali.  Ruangan pun mendadak sunyi. Cecak pun enggan bergerak.

Sudah dua minggu. Remi tak menampakkan batang hidungnya di kantor. Kabarnya pun tak ada. HP pun sulit dihubungi. Bahkan pesan lewat WA tak dijawab. Sejuta tanya mengelantung dalam hati rekan sekantornya. Segudang pertanyaan pun terlintas dalam pikiran sahabat-sahabatnya. Bahkan terlintas  pikiran nakal, jangan-jangan Remi diculik kelompok Pak Besar. 

Maklum kelompok Besar dikenal sebagai pengusaha yang tak mengenal etika haram dan halal dalam berbisnis. Prinsip kerja yang teranut pun sangat tegas dan jelas. Hantam dulu. Urusan belakangan. Kan segala sesuatunya bisa diatur dan diatur. Yang penting pelicinnya besar dan menggoda para pembuat keputusan dan pemegang kekuasaan untuk berpihak dan mengabdi kepada mareka.

Di mata  rekan-rekannya, Remi adalah jurnalis yang selalu mengedepankan pembelaan terhadap rakyat kecil. Sebagai sarjana  ia selalu akrab dengan rakyat kecil yang termarginalkan, baik secara ekonomi maupun politik. Tak pelak aksi jurnalis ini kerapkali mengalami benturan dan hadangan. Bukan hanya di lapangan namun dalam lingkungan  internal tempatnya mengabdi sebagai pewarta, hadangan dan benturan sering terjadi.
Bahkan terkadang suara sumbang menggema dari rekan-rekan seprofesinya terhadap dirinya yang dianggap sok idealis dan pahlawan kesiangan.

Remi masih ingat dan sangat ingat sekali, saat melakukan investigasi tentang rencana penyulapan lahan persawahan milik masyarakat Desa Ancok Lilot menjadi areal pertambangan oleh perusahaan milik Pak Besar beberapa waktu lalu. Kendati sempat ditentang kalangan LSM, namun rencana itu tetap berjalan dan berjalan. 

Bahkan kalangan birokrat seolah-olah menutup mata, bahkan ada yang mendukung dengan dalih untuk menambah pundi-pundi daerah.
"Kami bingung Pak. Sebagai rakyat kecil kami ini hanya ingin bertahan hidup. Lagi pula  nenek moyang kami hidupnya dari bertani dan bersawah dalam berkehidupan," keluh Pak Dandio saat bertemu Remi.
"Benar Pak. Keahlian kami hanya bertani dan bersawah. Nah kalau sawah kami dijadikan areal pertambangan, kami ini kerja apa? Penambang? Kami ndak paham. Ndak paham," sambung  Mbah Culun.
"Tapi kata bapak-bapak yang di atas, kami ini pembangkang karena menolak pembangunan. Apakah pembangunan harus merugikan rakyat?. Apa memang pembangunan harus mengorban rakyat kecil? Duh gusti, gusti. Memang begini toh nasib jadi wong cilik dan orang susah. Selalu tersusahkan dan disusahkan. Paling dihargai saat musim kampanye saja," sela Pak Bimbang.

Pada sisi lain, petinggi daerah dengan nada tegas menyatakan kehadiran perusahaan Pak Besar akan mampu merubah daerah ini menjelma daerah yang berkembang dalam  upaya mengeskalasi  kesejahteraan masyarakat dan derajat kehidupan rakyat. "Kita memberi apresiasi yang luar biasa kepada Pak Besar, pengusaha lokal yang siap berjuang  demi kesejahteraan rakyat," jelas petinggi negeri dengan senyum mengembang. 

Senyum penuh kebahagiaan.
Hal senada juga terlontar dari mulut berbisa Pak Besar. "Kehadiran kami di sini untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk kepentingan rakyat daerah ini. Hanya itu niat saya. Tidak lebih dan tidak kurang," ujar Pak Besar dengan intonasi suara penuh senyum kemenangan.

Remi baru saja usai mandi. Ketukan pintu di rumah kontrakannya di gang sempit membatalkan niatnya untuk berganti pakaian. Pintu terbuka. Terlihat wajah Rifo teman sekantornya dengan senyum penuh sukacita.
"Masuk, Ndan. Tumben pagi-pagi kamu sudah bertamu. Kayaknya ada info terhebat nih," sapa Remi yang memanggil Rifo dengan sebutan komandan.
"Aku bawa kabar besar dan maha dahsyat untuk kau. Semalam Pak Besar, konglomerat yang katanya kebal hukum dan kebal segala macam itu ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan," jelas Rifo.
"Kok ditangkap?," tanya Remi heran.
"Ternyata selama ini Pak besar itu melakukan kegiatan yang illegal. Bukan cuma merusak lingkungan tapi juga  merusak mental dan moral masyarakat. Bahkan aparat KPK kini terus mengusut keterlibatan petinggi daerah dalam kegiatan Pak Besar," ungkap Rifo.
"Kalau itu mah, bukan merusak mental dan moral. Tapi merusak kantong Pak Besar," jawab Remi sekenanya. 

Keduanya pun tertawa terbahak-bahak. Sementara dipersimpangan jalan, para penjual koran terus meneriakan berita tentang tertangkap tanganya Pak Besar yang menjadi headline koran-koran.

" Ada berita Pak Besar tertangkap tangan," teriak para penjual koran dengan nada suara garang. Sementara cahaya matahari bersinar dengan garangnya. segarang narasi para penjual koran yang terus berteriak tentang tertangkap tangannya Pak Besar.

Toboali, Minggu, 17 Oktober 2021

Salam sehat dari Kota Toboali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun