Cerpen : Bukan Pengantin Biasa
Dalam beberapa hari ini, wajah sumringah tergurat di lelaki muda itu. Segurat senyuman terus diumbarnya ke alam raya. Bak orang yang menang lotere milyaran rupiah. Siulan terus berdentang dari mulut Panjul dari dalam kamarnya yang menggambarkan sebuah kebahagian yang tak terkira.
Tak pelak. perubahan genetika yang tergambar dalam anatomi tubuh Panjul, nama anak muda itu mengundang sejuta tanya di hati keluarganya. Dan sejuta tanya pun mengapung dalam pikiran mareka sebagai orang tua yang hidup di Kampung.
"Ada apa ya Pak. Kok Panjul terlihat sangat bahagia sekali akhir-akhir ini?," tanya Ibu Panjul kepada suaminya.
"Ibu ini aneh. Anak bahagia kok dipertanyakan. Mestinya kita ikut bahagia juga kalau anak kita bahagia. Udah sana tolong bikinin Bapak kopi daripada mikirin anak bahagia," jawab sang suami.
Bagi warga Kampung, Panjul dikenal sebagai anak sopan, ramah dan baik serta suka menolong. Panjul juga amat religius dan aktif di masjid sebagai pengurus Remaja Masjid. Maklum Panjul dulunya pernah mengenyam pendidikan di sebuah Madrasah di Kota. Cuma karena ketidakmampuan ekonomi keluarganya membuat anak muda ini harus putus sekolahnya. Maklumlah bapaknya cuma buruh tani yang hidupnya menggantung diri dari tanah garapan sang pemilik lahan.
Namun Panjul tak pernah putus asa dalam menuntut ilmu. Anak muda itu terus belajar dari para sespuh agama yang ada di Kampungnya untuk menambah pengetahuan agamanya.
"Bukankah belajar tidak harus di sekolah formal," pikirnya.
"Lagi pula untuk apa aku memaksakan Bapak dan Ibu untuk mencari duit demi sekolahku. Kasihan mareka yang sudah mulai merentah. Sudah seharusnya aku sebagai anak yang harus membahagiakan mereka," desisnya dalam hati.Â
Sungguh anak yang berkepribadian yang baik.
Dan Panjul pun akhir merantau ke Kota yang penuh dengan diorama kehidupan yang kadang tak bertuan dan berperikemanusiaan. Tujuannya selain bekerja untuk bekal hidupnya di dunia, lelaki muda dari Kampung ini ingin memperdalam ilmu agama sebagai bekal di akhirat.Â