Malam itu Atok tampak bahagia. Terlihat dari wajahnya yang cerah. Sebatang rokok dia sulutkan. Asapnya menghambur tinggi ke langit Seolah ingin mengejar bintang. Aku melihat ada sebuah isapan yang amat nikmat, saat Atok menghisap rokoknya. Sementara di hadapannya segelas kopi yang dibuatkan nenek menambah lengkap nutrisi Atok.
" Ibumu dulu kembang kampung," ujar Atok membuka cerita.Â
Aku terdiam. Sangat percaya dengan omongan Atok. Ibu memang memiliki paras wajah yang cantik dengan berbalut kulit yang putih bak bintang sinetron.
" Sayang, ibumu keburu menikah dengan ayahmu," lanjutnya dengan nada pelan. Seolah tersirat sebuah penyesalan.
" Memang usia Ibu waktu menikah dengan ayah masih muda Tok?," tanyaku.
" Sekitar delapan belas tahunlah," jawab Atok.
" Lho itu kan usia yang sudah lumayan matang, Tok," sahutku.
" Iya," jawab Atok ringan.
" Lalu?," tanyaku kembali.
" Karena Atok tak mampu menyekolahkannya, maka Ibumu menerima lamaran Ayahmu. Atok merasa bersalah," ujarnya lirih. Kulihat ada segurat kesedihan di wajah Atok. Seolah ada perasaan bersalah.
Berdasarkan cerita Ibu, Atok saat masih bujangan tergolong lelaki yang menjadi idaman kaum hawa. Maklum wajah Ttok sangat flamboyan. Postur tubuhnya tinggi. Walaupun cuma tamatan Sekolah dasar, namun Atok tak minder. Demikian juga dengan pekerjaannya sebagai pembuat gula aren tak membuatnya malu. Menurut Atok semua pekerjaan kalau dilakoni dengan sungguh akan berhasil.
" Jangan memilih pekerjaan. Yang penting halal. Dan tidak ada pekerjaan yang hina selama dilakoni dengan ikhlas," ujar Atok kepadaku.
Tingginya kepedeaan dirinya sebagai lelaki muda saat itu, membuat Atok mampu menaklukan hati nenek yang masih keturunan warga Tionghoa. Padahal keluarga nenek banyak tak setuju Nenek menikah dengan Atok. Maklum keluarga nenek tergolong mampu. Punya toko besar di Pasar kecamatan. Tapi, pandangan pertama mareka saat bertemu di sebuah toko saat Atok menjual gula arennya membuat Nenek akhirnya bersedia dinikahi Atok.
" Atokmu orangnya hebat,' cerita nenek.
" Hebat gimana Nek?," tanyaku penuh dengan kebingungan.
" Dia mampu memberi nilai hidup dan kehidupan kepada keluarga. Dia mampu menjadi imam bagi keluarganya, walaupun pekerjaannya cuma membuat gula aren. Atokmu pekerja keras dan sangat religius. Itu yang membuat nenek bersedia menikah dengan Atokmu," lanjut nenek dengan muka sumringah.
Jujur, aku tak mengerti sama sekali dengan penjelasan Nenek. Tak mengerti sama sekali. Bagaimana Nenek bilang Atok hebat kalau harta yang dimilikinya cuma sepeda unta dan sebuah gitar saja yang nilainya era itu tak seberapa kalau dijual.
Saat Atok wafat, kami para cucunya sangat bersedih. Kami kehilangan seorang kakek yang selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya dengan kerja kerasnya tanpa harus mengeluh. Atok telah mengajarkan kami bahwa hidup harus dihadapi dengan perjuangan dan bukan dari belas kasihan orang.
" Kita harus punya harga diri walaupun kita hidup sederhana," nasehat Atok kepadaku.
" Dan sebagai lelaki jangan sekali-kali kamu menghidupi anak dan istrimu dengan uang tak halal," lanjut Atok.
Kini setiap ke rumah nenek, aku masih melihat foto Atok saat masih muda. Ganteng sekali bak bintang film laga tempo dulu. Sepeda untanya masih terparkir dalam gudang belakang rumahnya.Â
Demikian pula dengan gitar kecil Ukulele yang selalu dimainkannya usai kerja siang hari masih tergantung artistik di ruang tamu rumah nenek.
Toboali, sabtu malam, 25 September 2021
Salam sehat dari Kota Toboali