Cerpen : Perempuan yang Menyusuri Pepohonan Tua Masa kecilnya
Sinar matahari berada  diatas kepala dengan garangnya. Tak surutkan langkah kaki perempuan itu menyusuri jalanan Kampung yang menghitam. Bola matanya yang indah melirik ke kiri dan ke kanan. Matanya tak lagi melihat rerimbunan ilalang yang dulu pernah menggoda kaki jenjangnya yang putih bersih. Mata indahnya tak melihat lagi deretan pohon-pohon besar yang mejejer di jalanan kampung itu. Mata indahnya tak lagi melihat jejeran gagah pohon-pohon besar yang menjadi ornamen Kampung masa kecilnya itu. Yang disaksikan bola  matanya bak bola pingpong itu hanyalah deretan rumah-rumah permanen sebagai simbol eskalator ekonomi warganya.
" Kemana ilalang yang nakal itu? Kemana perginya pohon-pohon gagah itu?" gumamnya dalam hati.
Otak cerdasnya memuncratkan memori lama, tentang ilalang yang pernah nakal di kakinya. Setiap senja tiba, bersama dengan arakan gerombolan burung camar yang menari di langit biru, perempuan kecil itu selalu berlarian gembira di rimbunnya ilalang itu. Terkadang ilalang liar itu mengoda kaki kecil mulusnya. Bahkan kadang- kadang ilalang nakal itu menggelitik paha putihnya hingga dia menjerit dan menakutkan kawan-kawan kecilnya yang berada didekatnya
Kini...
Rerimbunan ilalang nakal itu telah hilang. Â Jejeran pohon-pohon gagah itu tinggal memori. Menjelma menjadi deretan rumah-rumah yang menjadi simbol ekonomi para warganya.Â
Kaki jenjangnya terus melangkah dan melangkah. Sinar garang matahari yang membuat tubuh indah berkeringat tak digubrisnya. Kakinya terus melangkah dan melangkah hingga kaki putihnya seketika, berhenti di depan sebuah pohon manggis tua yang berdiri tegar di halaman sebuah rumah kuno.. Sebuah pohon yang berdiri gagah bersama deretan pohon-pohon lainnya yang menjadi pagar rumah kuno itu.Â
" Â Pohon-pohon ini akan menjadi pusat oksigen kita," ungkap Ayahnya ketika itu, saat dirinya melihat ayahnya menanam pepohonan itu disekitar rumahnya.
Di halaman rumah kuno itu, hamparan rumput yang menjadi ornamen rumah masih terlihat menghijau dan menghijau. Memanjakan mata yang melihatnya. Perempuan muda itu masih teringat, saat dia kecil menjadikan reumputan hijau itu sebagai ruang bermainnya bersama teman-teman kecilnya. Bak stadion utama Senayan tempat para pesepkbola memainkan taktik bola untuk menjebol gawang lawan.
Dia bersama teman-teman kecilnya, bebas berlarian ke sana ke mari dihalaman rumah yang menghijau itu. Mengitari rerumputan. Menari-nari diatas rerumputan hijau itu. Sebuah memori lama yang masih membekas dalam memori otaknya yang cerdas yang tak pernah didapatnya saat mereka pindah ke Kota yang dipenuhi gedung-gedung beton yang hendak menyaingi langit.
Saat kaki jenjangnya yang putih mulus hendak melangkah, sebuah panggilan dari suara yang amat dikenalnya membuyarkan kakinya untuk melangkah.
" Neng dokter," sapa suara itu.
Perempuan muda itu menoleh. Sejurus senyuman pun dilemparkannya kepada sang pemilik suara.
" Eh...Mbok Iyem. Apa kabar?," ujarnya sembari menyalami Mbok Iyem dengan badan membungkuk.
" Alhamdulillah sehat,Neng. Neng tugas di puskesmas sini?,"tanya Mbok Iyem.
Perempuan muda itu mengangguk.Â
Sementara tiupan sepoi angin nakal dari dedaunan pohon-pohon yang menjadi hiasan pagar rumah itu menerpa wajahnya cantiknya tanpa malu-malu. Dedaunan pepohonan itu terus melambai-lambai seakan-akan mengucapkan selamat datang kepada dirinya.
Toboali, 22 September 2021
salam sehat dari Toboali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H