"Dan kamu jangan mimpi akan harta-harta itu. Semuanya milik keluarganya. Milik anak-anaknya," sambung kerabatnya lagi.
"Kami tahu siapa laki-laki itu. Kami tahu watak dan karakternya. Kami sudah berabad-abad berkumpul. Kami sudah sangat hapal dengan tingkah lakunya," teriak Ibu Gosip, kerabat Prisa dengan suara meninggi penuh emosional.
"Kamu harus ingat kehormatan keluarga kita. Kita adalah keluarga baik-baik. Keluarga terhormat. Keluarga terhormat," sahut kerabat yang lain dengan nada pekikan.
Prisa diam seribu bahasa. Membisu. Tak menjawab. Bungkam. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Tak satu katapun meluncur dari bibirnya.
Kegundahan dan kegelisahan Pak Kakan  atas riak gelombang kehidupannya membuat Prisa merasa iba. Kata-kata dan diksi yang terlontar dari mulut bau Pak Kakan telah memabukkan pikiran alam sadar Prisa yang cerdas dan bernas.Â
Membutakan matahatinya yang putih bersih. Kecerdasannya tak mampu halau raungan rangkaian kata-kata puitis Pak Kakan. Prisa pun terjatuh. Tergolek dalam buaian. Terbuai mimpi-mimpi. Larut dalam gelombang angan-angan.
Suatu malam ketika bulan purnama, malam yang penuh dengan bintang gemintang itu telah merusakkan sendi-sendi etika kehidupan Prisa dan Pak Kakan sebagai manusia.Â
Malam yang bermandikan taburan cahaya indah itu telah meluluhlantakkan naluri keduanya. Malam yang penuh dengan kerupawanan itu telah membuat Prisa dan Pak Kakan lupa. Lupa akan etika kehidupan. Lupa akan norma-norma agama. Lupa akan moralitas. Lupa akan status diri mareka. Lupa akan nasihat para orangtua. Lupa akan segalanya. Hanya  kesejatian mimpi yang membuat keduanya bersatu padu menatap jantannya malam yang  bertaburkan cahaya keindahan.
Lolongan mengerikan dari  anjing malam yang tak bertuan menjadi saksi bisu malam kesesatan itu. Lenguhan dengus kucing hutan pun menjadi saksi malam hitam pekat itu.
"Aku akan segera ke dusun. Ketemu orangtuamu. Aku ingin kita segera bersama menatap kehidupan ini," ujar Pak Kakan dengan nada kalimat penuh tanggungjawab.
"Terimakasih, Pak," sahut Prisa dengan kegembiraan tak terperikan.Â
Empat puluh hari usai peristiwa malam jalang itu, adalah hari yang  penuh tragedi bagi Prisa. Sebuah bencana besar datang dan menghampiri dirinya. Takkan pernah terlupakan dalam memori otaknya. Kedatangan seorang wanita cantik berkulit putih ke rumahnya telah memusnahkan asa. Memusnahkan harapan hidupnya yang sedang menyala-nyala bak api unggun. Menyesali malam yang penuh kesesatan itu. Menyesali malam yang bertabur kegelapan itu. Menyesali apa yang telah terlakukan.
"Saya hanya ingin katakan pada saudari. Jauhi ayah anak-anak saya. Masih banyak pria muda di dunia ini. Bermartabatlah kita sebagai wanita. Jaga harga dirimu," ujar wanita berkulit putih yang ternyata istri Pak Kakan.
Prisa kaget. Terdiam. Jantungnya seakan-akan mau copot mendengar celotehan itu. Linangan airmata bersalah menetes penuhi ubin-ubin rumah. Dunia pun seakan-akan runtuh. Hendak kiamat. Caci maki dan sumpah serapah terus dihujamkan di ulu hatinya dari mulut para kerabat. Beragam gelar pun terteriakkan dari mulut-mulut berbisa. Julukan hitam pun terpatri dari sekitar tanpa mampu tertahan.
Dan Prisa tak mampu menahan gempuran hujatan bernada hitam pekat yang terus berdesing bak peluru yang dilontarkan tak habis-habis.