Cerpen : Lelaki yang Menghapus Airmata Wanitanya
Gerimis pagi basahi bumi. Desahannya menetes di tanah. Jagad raya dan penghuninya bahagia. Ada asupan air dari langit. Menyuburkan alam. Hutan kembali menghijau. Aroma bunga mulai mekar. Rerumputan menjulang.
Wanita itu masih menatap gerimis yang tak kunjung usai. Tatapannya nanar. Ada sesuatu yang tersembunyikan. Sementara tangannya dengan cekatan melipat baju-baju yang tak tersusun rapi. Beberapa kali desahan dari kerongkongannya terdengar tanpa mampu dia sembunyikan.
" Ah...Sudah tiga bulan," katanya dalam hati.Â
Sementara diseberang rumahnya, sepasang sorot mata tajam menatapnya dengan sembunyi-sembunyi.
Astuti sudah tiga bulan dihijrahkan keluarga besarnya ke Kampung. Dan sudah tiga bulan pula usia kandungannya bertambah. Dan selama tiga bulan ini, Astuti hanya ditemani sepasang suami istri. Mereka adalah Mang Toha dan Wak Mina yang diberi kepercayaan khusus oleh orang tuanya untuk mengurus putri mareka hingga masa kelahirannya tiba.
" Saya dan istri percayakan semua urusan soal Astuti kepada kalian. Jaga dan urus Astuti sebagaimana kalian mengurus anak kalian," pinta Ayah Astuti.
" Iya Pak," ujar kedua suami istri itu serempak.
 Astuti hanya terdiam.
Astuti tak menyangka arus kehidupan harus membuatnya tersingkir dari indahnya kehidupan Kota yang menawarkan sejuta kenikmatan. Sebagai putri dari orang tua yang beruang, Astuti merasakan bagaimana kasih sayang yg diberikan kedua orang tuanya jauh dari harapannya sebagai seorang anak. Dirinya hanya ketemu dengan Ayah dan Ibunya saat sarapan pagi. Tak lama. hanya sekjap. Sekitar 30 menit. Setelah itu kedua orang tuanya meninggalkan dirinya dengan segepok uang.
Kedua orang tuanya berasumsi dengan segepok uang maka putri mareka akan bahagia. Kedua orang tua Astuti berpikiran dengan materi anaknya bahagia. Sebuah asumsi masyarakat Kota yang selalu menjadikan materi sebagai jaminan hidup.
" Apa kamu pikir tanpa uang kita bisa hidup? Apa kamu pikir dengan miskin kita bisa bahagia?," tanya Ayahnya saat Astuti memprotes soal kesibukan Ayah dan Ibunya.
" Semua yang kami lakukan ini hanya untukmu, Nak. Kami ingin kamu bahagia dan tidak melarat sebagaimana kami dahulu," sambung Ibunya.
" lantas dengan siapa saya mendapatkan kasih sayang? Dari Bik Minah? Dari Wak Toha," tanya Astuti.
Kedua orang tua Astuti terdiam. Tak ada yang menjawab. Hanya detingan jam didinding yang menjawab sebagai tanda bahwa keduanya harus pergi meninggalkan meja makan pagi ini.
Astuti mulai melanggar nilai dan etika hidup saat menyaksikan Ibunya pergi bersama seorang lelaki muda saat dirinya sedang berada di sebuah pertokoan hendak membeli buku kuliahnya. Astuti mulai berybah seribu derajat saat menyaksikan sang Ayahnya merangkul seorang wanita muda yang ternyata teman kuliahnya.