" Sekali lagi saya, saya mewakili keluarga besar yang terhormat ini menolak anda. Dan silahkan anda cari wanita lain," jawab pria itu.
" Dan saya mohon anada segera tinggalkan rumah ini," sambung lelaki lain yang hadir dalam pertemuan itu dengan narasi mengusir. Dengan tertunduk malu, lelaki muda itu pun segera meninggalkan rumah tua itu.
Lelaki muda itu patah arang. Jiwanya terkoyak-koyak. Kelaki-lakiannya seolah-olah terpotong. Rasa dendan memuncrat dalam otak besarnya. Balas dendam menghantui hari-harinya.
" Kamu jangan bertindak bodoh,bro. Menyakiti hati seorang wanita yang begitu mencintaimu sama saja engkau menghianati kasih sayang Ibumu sebagai perempuan," nasehat temannya.
" Saya malu. Hargai diri saya sebagai lelaki terpotong-potong. Saya terhinakan," jawab lelaki muda itu dengan nada keras.Â
Penghuni alam pun menoleh.
" Saya sebagai sahabat sangat memahami perasaanmu. Apakah rasa malumu sebagai lelaki harus ditebus dengan derita seumur hidup? Apakah dendammu terbalaskan dengan kamu menanam benih dalam rahim wanita yang menyayangimu setulus hati? Saya tahu, Ayu amat mencintaimu. Apakah itu cara kamu membalas kebaikannya?," tanya sahabatnya.Â
Langit cerah. Kerlap kerlip bintang dilangit menghiasi jagad raya. Sebuah ornamen alam yang sangat indah.
Tiga tahun lamanya lelaki muda itu berjuang melawan ganasnya Kota. Tiga tahun lamanya dia melawan kerasnya rimba Kota. Dan tiga tahun pula lamanya, sebagai lelaki dia harus memendam rindu yang tak terperikan. Sebuah rindu yang akan terlampiaskan dengan segera. Ya, segera terlampiaskan.
" Saya akan datang melamarmu wahai Cah Ayu," bisiknya dalam batin.
" Saya harus dapatkan dirimu, wahai wanita ayu," kembali batinnya berbisik.