Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kuping Caplang

5 Juni 2021   22:11 Diperbarui: 5 Juni 2021   22:11 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Kalian jangan asal main tuduh ya. kalian bisa dihukum walaupun kalian aparat keamanan Kampung," jawab Dayang.
" Kalau bukan main gila, apa lagi? Kok perempuan dengan lelaki bukan muhrimnya satu kamar malam-malam begini," semprot rekan Semaun Fandi dengan suara yang ekpsrip.
" Beberapa malam yang lalu kamu juga berada di kamar Pak Janggut kan," tanya Semaun lagi
" Lho itu kan hak saya. Lagi pula, apa hak kalian mengawasi aku? Apa aku maling? Koruptor? Kalian telah melanggar undang-undang dan hak azazi manusia. Kalian bisa ku adukan ke Komnas HAM perempuan ," sergah dayang dengan wajah memerah.

" Sudah.  Tak usah banyak alasan. Besok kalian dipanggil Pak Kepala Kampung di kantornya. kalian akan disidang,' pesan Semaun dengan nada suara meluap-luap menahan emosi
" Siapa takut,' jawab primadonan kampung sambil meninggalkan Semaun dan rekannya. Goyangan pinggulnya membuat Semaun dan kawannya bak terhipnotis. hanya mulut mareka yang menganga. Sementara teriakan sahur corong pengeras suara  Mesjid mulai terdengar. Bergemuruh menghias malam.

Pak Kepala Kampung baru saja mandi. Handuk masih melilit di tubuh tegapnya. Dia kaget setengah mati saat melihat rombongan warga bergerombol dihalaman rumahnya. Tampak pula dalam rombongan itu Dayang dan Pak Janggut.
" Ada apa ini ?,' tanya Pak Kepala Kampung di depan rumahnya saat melihat rombongan warga datang dengan suara bergetar.
" Ini Pak Kepala Kampung. Orang yang telah mencemarkan nama baik kampung Kita. Orang yang telah membuat ib di kampung kita . Dan orang yang telah menebar dosa pada saat bulan suci karena melakukan perzinahan . Mereka harus dihukum seberat-beratnya," ujar seorang perwakilan warga.

" Betul begitu?," tanya Pak Kepala Kampung kepada kedua orang yang berlainan jenis ini.

" Itu fitnah Pak. Fitnah. Fitnah," jawab Dayang dengan nada suara penuh amarah.
" Kalian  itu sungguh kurang ajar. Kok orang tua setua aku ini dituduh main gila dengan Dayang. Aku ini sudah tua bangka. Sudah tak mampu," teriak Pak janggut dengan nada suara penuh amarah. Matanya tajam menatap warga yang bergerombol. Tak ada rasa takut sama sekali di nurani lelaki tua yang meruakan mantan pejaung ini.
" Udah, nggak usah bertele-tele. Ngaku saja biar cepat prosesnya," teriak warga yang lain yang disambut dengan koor setuju dari warga lainnya.
" Demi Allah, Pak kepala kampung kami tak berzinah. Tak berzinah," jelas Pak Janggut.

" Sudah jangan banyak alasan. Ngaku saja," desak warga yang lain.

Pak Kepala Kampung menjadi kebingungan. Bukan bingung soal memutuskan persoalan itu. Sama sekali bukan. Yang amat dibingungkannya, tiba-tiba saja Dayang membuka aibnya. Soalnya, dirinya pernah mengecani primadona desa itu sebelum Dayang sering ke rumah Pak Janggut untuk membantu tokoh masyarakat itu yang memang sering sakit-sakitan. Bahkan  putra Dayang semata wayang mirip dengan dirinya. Mirip dalam anantomi fisiknya. yakni kupingnya yang melebar. Orang kampung menyebutnya sebagai telinga Caplang.
" Jadi siapa sebenarnya yang mengecani Mbak Dayang? Mohon jujur. Ini kan bulan puasa. Bulan penuh rahmat," sela Pak pengulu yang tiba-tiba angkat bicara.

" Bukan Pak Janggut. Demi Allah bukan Pak janggut. Beliau itu Impoten," jawab Dayang dengan suara tegas.
" Jadi siapa lelaki yang pernah mengecani Mbak Dayang sehingga punya anak?," selidik Pak penghulu lagi.
" Pak Kepala Kampung," jawab Dayang dengan suara yang amat tegas dan keras sehingga terdengar oleh jagad raya.

Mendengar pengakuan jujur Dayang itu, Pak Kepala Kampung langsung rebah di tanah. Diikuti oleh istrinya. Tersungkur dihalaman rumah mareka. Suasana di halaman rumah Pak kepala kampung riuh reda. Seriuh tangisan Dayang yang berjalan pulang bersama arakan awan-awan putih yang mengiringi jejak langkah kakinya menuju rumah. Sementara sinar mentari  pun mulai beranjak pulang keperaduannya sebagai tanda cahaya purnama akan segera tiba menerangi alam raya.

Toboali, sabtu malam, 5 Juni 2021

Salam sehat dari Toboali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun