Cerpen: Tak Ada Suara Azan di Kampung ItuÂ
Lelaki itu berdiri sembari menatap matahari yang menghilang dari tatapan matanya. Sementara langit bergaris merah muda. Lelaki itu mengambil air wudhu yang ada dalam ember. Dan byurr...Seluruh tubuhnya dari mulai tangan hingga kaki terguyur dengan air wudhu. Nikmat sekali dirasakannya. Dan lelaki itu pun mulai mengerjakan sholat Magribnya. Cahaya rembulan mulai tampak.
Sudah seminggu lelaki itu terjebak di Kampung ini. Sebuah perkampungan yang jauh dari Kota. Dan untuk mencapai kampung ini, lelaki itu harus menempuh perjalanan yang sangat melelahkan. Sekurangnya hampir enam jam, dia menumpang sepeda motor milik warga yang kebetulan pulang dari Kota untuk mengurus E-KTPnya yang rusak.Â
Dan selama seminggu ini pula, lelaki itu tak pernah mendengar suara azan dari Masjid. Dan saat lelaki itu berkeliling Kampung, dia tak melihat adanya bangunan masjid. Sementara saat senja tiba, ketika matahari mulai terbenam di ufuk timur, para lelaki Kampung selalu duduk di halaman rumah mereka dengan berkain sarung dan berkopiah. Apakah mereka sholat di rumah? Sementara kaum perempuannya selalu menggunakan hijab saat keluar rumah dan bepergian.Â
Dan sudah seminggu ini pula dia harus menerima apa adanya tentang Kampung Ini yang katanya memiliki pesona yang luarbiasa dan magnet yang kuat sehingga orang-orang berebut datang ke sini. Tak terkecuali lelaki yang berprofesi sebagai jurnalis sebuah media dari Kota.
" Saya juga heran,apa hebatnya Kampung kami ini sehingga orang-orang mau saja datang ke sini dengan bersusah payah untuk melihat Kampung kami ini," ujar Pak Lurah kepada lelaki itu.
" Barangkali ada sesuatu yang tersembunyi di kampung ini yang membuat orang-orang ingin ke sini,Pak Lurah," jawab lelaki itu.
" Adik sudah seminggu disini. Menurut Adik apa yang menarik dari Kampung kami ini," tanya Pak Lurah.
Lelaki itu terdiam. Dia hanya menatap Pak Lurah. Seolah membenarkan apa yang dikatakan Pak Lurah kampung ini. Tak ada istimewanya kampung ini. Tapi, anehnya orang berlomba-lomba datang ke sini walaupun harus menerima segala konsekwensinya selama tinggal di sini. termasuk lelaki itu yang harus rela menumpang tidur di Pos Ronda Kampung.Â
Tak ada penginapan. Tak ada rumah makan. Makan ala kadarnya yang penting perut bisa kenyang. Sementara kalau malam hari, kegelapan melanda seluruh kampung. Warga hanya menggunakan lampu templok. Bahkan ada rumah warga kampung yang tak menggunakan penerangan hingga matahari terbangun dari mimpi panjangnya. Sementara suara orang mengaji terus terdengar dari setiap rumah warga. Mensakralkan Kampung pada saat malam hari.
" Makanya kadang sebagai Kepala Kampung, saya heran, bahkan sangat heran sekali banyak orang datang ke sini untuk melihat Kampung kami ini. Dan menuliskannya di koran. bahkan menyiarkannya di televisi," urai Pak Lurah dengan nada suara setengah bertanya.