Cerpen : Ibuku, Perempuan Hebat Sekali
Azan magrib berkumandang dengan merdunya lewat corong pengeras suara Masjid. Suara azan sakralkan langit. Sakralkan alam raya. Religiuskan jiwa-jiwa yang mulai melangkah menuju masjid dengan hati yang damai. Untuk bersegera bersujud kepada Sang Maha Pencipta.
Sementara, di sebuah rumah sakit terkenal di Ibukota provinsi, di sebuah kamar, seorang wanita setengah baya masih berjuang melawan keganasan penyakit yang dideritanya. Selang masih menempel di lengannya. Hidungnya pun harus ditutup dengan selang oksigen sebagai alat bantu untuk bernafas. Wajah cantiknya masih sangat terlihat di usianya yang sudah tua. Kemolekan wajahnya tak kalah klas dengan para seleb yang sering nongol di berita infotainment.
Ibu ku yang biasa kami panggil dengan panggilan Emak memang sudah dua hari dua malam menghuni kamar di salah rumah sakit ibukota ini. Kami sebagai anak-anaknya terus berdoa kepada Sang Pencipta agar Emak disembuhkan dari penyakitnya. Dan baru dua hari dua malam Emak berada di kamar ini, kami amat menderita. Tiada lagi nesehat yang lahir dari bibirnya. Tiada lagi candanya yang membuat kami kadang tertawa terbahak-bahak kalau lagi berkumpul bersama.
Emak memang wanita hebat bahkan super hebat. Kendati hanya tamatan sekolah rakyat, namun Emak pernah menjadi pegawai Kecamatan di tempat kelahirannya. Perkenalaannnya dengan Ayah terjadi, saat Emak masih berstatus sebagai pegawai Kecamatan. Saat itu Bapak Ayah adalah seorang birokrat yang mengemban amanah sebagai Camat di Kota kelahiran Emak.
Setelah menikah dengan Ayah, Emak tidak bekerja. Emak juga harus mengurus adik-adik Ayah yang saat itu masih kecil. Tak heran dimata adik-adik Ayah, Emak bukan sekedar ipar. Emak memerankan dirinya sebagai kakak bagi adik-adik Ayah.  Bahkan Emak  mirip sebagai Ibu bagi mareka.
" Emakmu yang mengurus kami saat kami masih kecil. Apalagi kakekmu sering berpindah tugas. Jadi kami menganggap Emakmu bukan sekedar ipar semata, namun mirip dengan Ibu kami, Nenek kalian," cerita adik Ayah kepada kami.
Saat kami masih di bangku SD, Emak berjualan kue pisang goreng yang dijajakan tetangganya tiap pagi keliling Kampung. Usai sholat Subuh Emak membuat jajanan pisang goreng sebagai penambah keuangan keluarga. Maklum Ayah saat itu hanya pegawai rendahan di sebuah perusahaan pertambangan.
Emak tidak berjualan pisang goreng lagi saat kami sudah menginjak kaki di SMP. Saat itu kondisi ekonomi keluarga kami cukup lumayan. Ayah diberi amanah dikantor sebagai Kepala Urusan. Bahkan Ayah saat itu bisa membeli sebuah sepeda motor yang untuk ukuran zaman itu hanya dimiliki segelintir orang saja. Namun Emak tampaknya tak bisa berlepas tangan. Naluri bisnisnya berjalan dan hidup dalam roh jiwanya. Emak berdagang pakaian. Langganannya banyak. Dan aku masih ingat dan sangat ingat, saat aku pulang ke rumah setiap setengah bulan sekali saat masih SMA di luar Kota, aku sering mengantar Emak mengambil uang tagihan di langganannya.
Dan aku amat bangga setiap kali mengantar Emak ke rumah langganannya, para langganannya selalu memuji Emak dengan diksi pujian setinggi langit yang biru. Kendati Emak adalah orang pendatang di daerah ini, namun Emak amat akrab dengan masyarakat sekitar daerah ini.
Hampir semua orang di Kota kami mengenal dan dikenal Emak. Hal ini dibuktikan saat mengantar Emak ke rumah langganannya, hampir sepanjang perjalanan selalu saja ada orang yang memanggil dan dipanggil Emak.
" Emak tinggal di daerah ini semenjak menikah dengan ayahmu. Sudah puluhan tahun. Saat itu daerah ini masih sepi dan penduduknya belum sebanyak sekarang," cerita Emak kepada kami.
Aktivitas Emak berdagang makin berkurang dan perlahan-lahan hilang saat kami anak-anaknya sudah bisa hidup dan berkehidupan sendiri. Apalagi saat adik mulai tinggal dan bekerja di Ibukota negara. Hampir tiga bulan sekali Emak selalu diajak adik ke rumahnya.
Demikian juga saat kami telah bekeluarga, aktivitas Emak dihabiskan dengan cucu-cucunya. Diusianya tak muda lagi, dimana tubuh Emak makin ciut, stamina dan kegesitannya sama sekali tak berubah. Emak masih sangat dinamis. bergerak dari satu ruamh anaknya ke rumah anaknya yang lain. untuk sekedar datang menengok anak dan cucunya.
Aktivitas Emak bersama cucu-cucunya sungguh sangat telaten. Naluri keibuannya memang amat terasa dan hidup dalam rohnya sebagai wanita. Dihidupkannya roh sosial dalam naluri dan jiwa cucu-cucunya. Ditiupkannya aura untuk tolong menolong  antar sesama. Diajarkannya hidup untuk saling berbagi kepada sesama sebagaimana yang pernah diajarkannya kepada kami para anaknya, saat kami masih kecil.
" Berbagi dengan sesama itu sangat penting. Dan tidak ada orang mengalami kesusahan hidup, apalagi jatuh miskin hanya karena berbagi dengan sesama," ajar Emak kepada cucu-cucunya.
Demikian pula saat ramadhan tiba, Emak selalu mengingat kami untuk berbagai dan berbagai kepada mareka yang tak mampu.
" Kalau ananda ada rezeki, bagikan rezekimu untuk orang sekitar. Para tetanggamu. Dan memberi sesuatu untuk orang berbuka puasa itu besar pahalanya. Dan ananda tidak akan pernah jatuh miskin hanya karena berbagi," ajar Emak kepada kami anak-anaknya.
Emak juga mengajarkan aku sebagai anak lelaki tertua untuk tidak menjadi seorang penzolim dan penjilat dalam bekerja karena itu adalah perbuatan manusia yang tak bermoral.
" Bekerjalah dengan baik dan lurus. Jangan menjadi penzolim bagi teman-temanmu. Dan jangan menjilat atasanmu. Lihat Ayahmu. Tak pernah meminta jabatan kepada atasannya. Demikian juga Kakekmu. Tak pernah menjilat atasan dan menzolimi bawahannya. Nama baik mareka bawa sampai mati," nasehat Emak saat aku mulai bekerja sebagai jurnalis lokal.
Saat waktu senggang, Emak sering bercerita kepada kami, anak-anaknya, Â saat Kakek kami masih berstatus sebagai Kepala Kecamatan, Emak sering bertemu dengan orang-orang berpangkat. Bagi Emak bersahabat dan bertemu dengan orang besar dan berpangkat adalah sesuatu yang biasa saja. Tak ada yang istimewanya.
" Jangan kamu bangga bersahabat dengan orang berpangkat. Tapi, bantulah kawan-kawanmu, tetangggamu dengan persahabatanmu dengan orang berpangkat itu. Kalau kamu bersahabat dengan orang besar, tapi kamu tak bisa membantu orang lain buat apa?," nasehat Emak kepada aku suatu malam.
Emak kini terbaring lemah dan tak berdaya di salah satu kamar rumah sakit ini. Beragam orang, kerabat dan tetangga berdatangan ke rumah sakit ini untuk sekedar melihat Emak dan menceritakan kebaikan Emak terhadap mareka.
" Emakmu orang baik. Suka menolong orang. Kami berutang budi kepada Emakmu. Semoga beliau cepat sembuh," doa kawan, kerabat dan tetangga Emak kepada kami anak-anaknya yang menunggui beliau di rumah sakit.
Kebaikan emak tetap terpatri dalam jiwa kami. Bahkan setiap bertemu dengan para tetua daerah ini kami selalu bahagia karena mareka mengenal Emak. Ya, mareka mengenal Emak karena kebaikan Emak. Bukan karena jabatan. Apalagi Emak kami tidak memiliki jabatan apapun kecuali sebagai mahluk Allah yang selalu ingin berbuat baik kepada sesamanya sesama hidupnya.Â
Toboali, rabu, 21 April 2021
Salam sehat dari Toboali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H