Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tongkat Kayu Mak

18 April 2021   16:08 Diperbarui: 20 April 2021   20:57 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen: Tongkat Kayu Mak

Air mata Perempuan Tua itu meleleh dari kedua kelopak matanya. Bibirnya melengkung ke bawah. Suara ayat suci Al-Quran dia lantunkan. Dan secara perlahan, bibirnya merajut senyum. Jemari keriputnya menyeka air matanya dengan lengan baju kaos yang dipakainya. Sejuta kebahagian memuncrat dari wajah tuanya. 

Perempuan tua itu adalah warga kampung kami yang dipanggil Mak oleh seluruh warga kampung, baik tua maupun muda. Semua warga menyapanya dengan panggilan Mak. Mak tinggal sendirian di ujung Kampung dekat hutan kecil. Tak ada sanak keluarga. Mak tinggal sebatang kara di rumahnya yang tak begitu besar usai suaminya meninggal dunia beberapa tahun lalu.

Dan seperti biasanya, usai melaksanakan sholat Subuh, Mak biasanya langsung ke Pasar. Menjual hasil kebun sayuran yang ada disekitar rumahnya. Kebun peninggalan sang suami yang berisikan berbagai macam tanaman sayuran. Mulai dari kangkung hingga lengkuas.

Dengan bantuan tongkat kayu yang diketukkannya di jalan, dan dengan langkah kaki yang tertatih-tatih, Mak selalu tiba di Pasar, saat Pasar masih sepi. Hanya segelintir penjual yang hadir di Pasar. Sementara pembeli sudah ramai. Tak heran, bila dagangan Mak selalu cepat habis dan terjual bak kilat.

Dan biasanya, usai dagangannya terjual habis, Mak menghitung uang yang didapatnya.  Dan sebelum pulang ke rumah, biasanya Mak mampir ke Masjid yang tak jauh dari rumahnya. Menyelipkan beberapa lembaran uang yang didapatnya. Itulah kebiasaan Mak setiap hari yang sudah dilakoninya sejak masjid itu berawal dari sebuah Mushola kecil.

" Apa tidak sebaiknya, uang Mak yang separuh untuk Masjid itu, ditabung," saran seorang warga.

" Lho...Mak kan menabung juga di kotak amal amal masjid untuk bekal Mak nanti," jawab Mak.

" Maksud saya, apa tidak sebaiknya, separuh  uang yang Mak taruh di kotak amal masjid itu, separuhnya di tabung untuk keperluan rumah Mak. Nih lihat Mak.  Genteng rumah Mak, sudah ada yang bocor.  Kalau hujan datang dan airnya derasnya, bisa membasahi rumah Mak,"jelas warga.

Mak menatap warga kampung, yang merupakan tetangga rumahnya. 

" Saranmu bagus sekali, Nak. Tapi kotak amal masjid itu lebih penting ketimbang rumahku yang masih sangat layak untuk ditempati. Rumah ini rumah tertua di kampung kita ini. Dan alhamdulilah, rumah ini masih sangat layak untuk aku diami. Coba kamu lihat rumah warga yang lain di Kampung kita ini. Baru setahun sudah roboh. Bahkan ada yang baru saja ditempati, sudah ambruk," jelas Mak. 

Warga kampung hanya terdiam. Senyap. Dia tak bersuara lagi. Dia paham betul dengan watak mak, tetangga rumahnya yang dikenal keras kepala dan berbudi luhur.

Sebenarnya Mak sudah tak pantas, bahkan tak layak lagi untuk berjualan di Pasar. Tubuhnya sudah sangat renta. Kondisi kesehatannya sudah sangat menurun drastis. Mak dengan tangan yang setengah gemetar memegang tongkat kayu itu hingga menuntunnya tiba di Pasar dan kembali pulang ke rumahnya 

Tanpa dukungan dari Tongkat Kayu itu, entah bagaimana Mak bisa tiba di Pasar setiap paginya.

Beberapa warga telah beberapa kali pula menasehati Mak untuk tidak berjualan lagi di Pasar. Tapi Mak menolaknya dengan jawaban yang sopan berbalut lembut.

"Kasihan para pembeli dan pelanggan Mak kalau Mak tak berjualan lagi,"jawab Mak. " Lagi pula Mak tak enak hati dengan para pembeli yang terkadang sudah terlebih dahulu menitipkan uang mereka untuk membeli sayuran Mak. Mak sudah terima uang mereka. Masa Mak tak mengantar barang mereka. Ingkar itu dosa lho. Mak sudah tua. Sebentar lagi mati. Nah, kalau Mak banyak dosa karena ingkar, alamat mak akan masuk neraka. Waduh," lanjut mak. 

Kembali para warga terdiam. Tak bersuara lagi mendengar jawaban Mak. Mereka, para warga enggan berdebat kusir dengan Mak, orang paling tua di kampung mereka. Mak adalah  orang yang mereka hormati. Mak telah mereka anggap sebagai orang tua mereka sendiri.

Para warga kampung kaget. Bahkan setengah takjub. Bagaimana tidak kaget dan takjub, tiba-tiba dihalaman masjid kampung mereka, berjejer berbagai barang sumbangan dari para jemaah yang mampir ke masjid mereka untuk sholat. Ada kambing. Ada Sapi yang langsung memamah rumput liar yang ada di sekitar halaman masjid. Bahkan sangat waktunya berbuka tiba, banyak sekali orang yang mengantar kue, nasi dan buah-buahan untuk mereka yang berbuka di Masjid kampung.

Demikian pula dengan penampakan di kotak amal. Sempalan uang sudah meluber hingga berceceran di lantai masjid. Ada amplop putih tebal dan amplop coklat ukuran besar yang berada dekat kota amal masjid. Menggunung.

Melihat fenomena ini, Ketua Masjid akhirnya memberanikan diri bertanya kepada salah seorang jemaah masjid yang datang dari luar Kota yang menitipkan amplop coklat yang tebal di dekat kotak amal.

" Mohon maaf, Pak. Apa maksud Bapak menitipkan uang sebanyak ini untuk masjid di kampung kami ini," tanya ketua Masjid dengan suara yang penuh kesopanan.

" Kami malu Pak Ustad dengan Mak, warga kampung ini. Mak tiap hari membagi uangnya untuk masjid ini. Sementara pendapatannya sangat kecil bahkan bisa dikatakan minim sekali. Tapi Mak masih bisa membagi rezekinya untuk masjid. Kita, terutama saya, penghasilan besar tapi sangat pelit membagi rezeki besar itu untuk masjid. Kami malu dengan Mak. Kami sangat malu dengan Mak," terang jemaah dari luar Kota dengan nada suara parau.

Pak Ustad terdiam. Matanya kembali memandang ke arah halaman masjid. Terlihat oleh matanya, orang beramai-ramai menghantar sesuatu ke masjid kampung mereka. 

Dan terlihat oleh pandangan matanya,  ada Mak, warga tertua kampung mereka yang datang ke masjid bersama-sama para jemaah yang datang dari Luar Kota tanpa bantuan tongkat kayunya. Ya, Mak datang ke masjid Kampung mereka tanpa bantuan dari tongkat kayunya dan terlihat sangat gagah berdiri di halaman masjid.

Toboali, minggu sore yang indah

Salam sehat dan salam ramadan untuk pembaca Kompasiana  dan para Kompasianer dari Kota Toboali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun