"Siapapun dia. Apakah dia terkategori manusia sakti sekalipun, dia tak berhak untuk memvonis seorang manusia masuk surga atau neraka," celetuk warga yang lain.
Semenjak divonis sebagai orang yang akan masuk neraka, kegelisahan melanda sekujur tubuh Matgagah, lelaki yang paling ditakuti warga kampung itu kini menjadi layu bak bunga yang tak disiram air. Tak ada lagi kegagahan dalam jiwanya. Tak ada lagi. Hanya ketakutan yang melanda sekujur tubuh gagahnya.Â
Di bawah pohon manggis itulah Matgagah dulu mendapat kehangatan sebagai seorang manusia. Terhargai dan dihargai oleh orang-orang yang berada di sana.Â
Ya, mereka, warga kampung yang menghabiskan waktunya dengan minum minuman keras, main kartu hingga mencuri hewan ternak milik warga. Mereka yang diberi stempel para warga kampung sebagai biang keladi keonaran di kampung. Mereka yang selalu mendapat sumpah serapah dari warga kampung karena sering menyusah warga kampung.Â
"Assalamualikum, kawan-kawan semua," sapa Matgagah kepada teman-temannya yang masih asyik bermain kartu.
"Waalaikumsalam. Tumben Mat. Kamu pagi-pagi sekali ke markas," jawab seorang temannya.
"Kamu habis dari masjid,ya," tanya seorang teman yang lain.
"Iya. dari masjid aku langsung ke sini," kata Matgagah.
"Aku cuma ingin menyampaikan bahwa mulai hari ini, aku bukan bagian dari kelompok ini lagi. Aku mundur sebagai bagian dari kegiatan kotor dan berdosa kelompok ini," ujar Matgagah.Â
Tentu saja penyataan Matgagah disambut dengan rasa terkejut dari para teman-temannya. Selama ini mereka mengandalkan Matgagah sebagai pemimpin meskipun tak resmi. selama ini mereka mengandalkan keberanian Matgagah dalam melakukan operasi nakal dan liar mereka. Kalau Matgagah tak ada lagi, maka tak ada yang bisa memimpin kelompok ini. Teman-teman yang lain hanya pengikut.