Cerpen : Rezeki Omelan
Dari kursi tempat duduknya, Tuan Hio memperhatikan anak buahnya membereskan barang-barang bekas yang ada di ruang kerjanya. Suara komando lelaki itu terus berbunyi di gendang telinga anak buahnya. Degup jantung anak buahnya yang sedang bekerja beriring dengan detak jarum jam di didinding ruang kerjanya yang baru.
" Dion. Kamu itu kalau kerja sesuai dengan arahanku," seru Tuan Hio. lalu memandang wajah anak buahnya yang keruh dan dipenuhi keringat yang membajiri sekujru tubuhnya. Dion, anak buahnya tak melawan. Dia asyik bekerja. Seolah tak mempedulikan omongan bau dari Taunnya. Dion tak mau berdebat dengan Tuannya. sejumlah kebaikan Bosnya membuat dia merasa berhutang budi.
" Kenapa engka tak keluar saja dari pekerjaanmu? Bukankah Bosmu itu mulutnya bau dan tak pernah mendapat pendidikan,"kata seorang temannya. Â Dion diam. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. bibirnya asyik menghisap rokok yang tadi siang diberi Bosnya, usai dirinya menyelesaikan pekerjaannya menata ruang Tuan Hio.
Ketika bulan berada dalam pelukan awan, Dion sudah berada di rumah petak teman sekampungnya. Melepas kepenatan setelah seharian bekerja melayani ocehan mulut Tuan Hio, Bosnya. Menghilangkan kepenatan. Membuang jauh-jauh kerumitan yang berkecamuk dalam otak cerdasnya. Semantara teman sekampungnya asyik bermain kartu remi.Â
" Kok kamu baru muncul? Kemana saja kamu," tanya seorang teman Sekampungnya saat melihat Dion datang dan lansung menyadarkan punggungnya di lantai rumah petak itu. Dion tersenyum.Â
" Dia pasti lagi bahagia. dapat tips dari Bosnya," sambung seorang temannya yang sibuk memperhatikan kartu remi ditangannya.
" Tips omongan ngawur," jawab seorang temannya yang lain yang dibarengi dengan suara tawa yang bersamaan dari temannya. Membahana. Meramaikan malam.Â
" Aku mau keluar dari pekerjaanku," ucap Dion.Â
Teman sekampungnya terperanjat. Kaget mendengar ucapan Dion. Semua mata temannya memandang ke arah Dion yang masih terbaring di lantai. Mereka menghentikan permainan kartu reminya.
" Daripada aku tiap hari mendengar omelan Tuan Hio, lebih baik aku keluar dari pekerjaanku," lanjutnya. kembali para temannya terdiam. Tak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Ruangan sempit rumah petak itu hening. cecak pun terdiam sejenak.