Cerpen : Lelaki yang Ingin Lari dari Belengu Populeritas
Lelaki itu tak mau bicara. Sorot matanya sangat tajam menatap lawan bicaranya dengan penuh selidik. Lelaki itu lalu beranjak dari kursinya. Menatap matahari yang berangsur menghilang. Sementara langit bergaris kelabu dan merah muda. Tak ada pesona sama sekali lelaki itu. Rambutnya gonrongacak-acakan. Postur tubuhnya tinggi berbalut badan yang kurus. Tetapi semua orang kini membicarakannya.
Lelaki itu kembali duduk dihadapan ku. Tatapan matanya tajam penuh selidik menatap aku, lawan bicaranya. Sebatang rokok dibakarnya. Asapnya membentuk kepulan bak pulau-pulau kecil. Suara azan tiba-tiba terdengar sangat merdu dari Masjid.
" Bagaimana kalau kita sholat magrib berjemaah di masjid. Setelah itu baru kita bicarakan apa yang harus kita bicarakan," ajaknya. Dan kami berdua pun bergegas menuju masjid. Jaraknya tak terlalu jauh dari rumahnya.Hanya dalam hitungan menit.
Lelaki itu termangu menatap cahaya purnama yang menyinari teras rumahnya, dimana kami berdua duduk ditemani dua gelas kopi yang baru dibuatnya.Lelaki itu sepertinya sedang memeras memori yang sangat pahit dalam perjalanan hidupnya. Aku menyaksikan linangan airmata mengalir dari kelopak matanya yang sembab. Airmata mata itu menetes membasahi bajunya.
" Bro, kamu menangis ya,' tanyaku.
" lelaki tidak boleh menangis, Bro. Lelaki harus kuat," jawabnya.
Aku membiarkan lelaki itu menangis. Sosok lelaki sahabat ku itu, kubiarkan menangis untuk melampiaskan kesedihan yang melanda sekujur tubuhnya karena pengalaman pahit hidupnya. Sementara derai dedaun dari pohon manggis yang berdiri kokoh disamping rumahnya kerap menyuarakan alunan bak lagu orkestra musik bethoven seiring  hembusan angin malam.Â
Hembusan angin malam seolah ikut menghibur lelaki itu. Dia seolah tenggelam dalam lautan kesedihan. Larut dalam kepedihan hidup yang amat getir.
" Kini semua orang mencari ku. Para pembaca novel ku mencari ku. Para wartawan ingin mewawancarai ku karena novel itu. Hidup aku kok semakin semerawut," ujarnya.
" Itu lumrah, Bro. Engkau kini adalah salah satu pesohor. Namamu terkenal. Semua orang membicarakanmu. Novelmu best seller," jawabku.
" Bagaimana aku bisa lepas dari jeratan belengu yang bernama populeritas itu?," tanyanya.
" Belengu dari kejaran para wartawan dan para penggemarmu?," tanyaku.
" Iya. Bagaimana caranya aku lepas dari kejaran mereka yang tak tahu asal usul lahirnya novel itu. Aku tidak butuh populeritas, Bro. Aku rindu ketenangan," lanjutnya.
" Kamu harus menjelaskan kepada mereka bahwa novel yang ku tulis itu certa tentang kepedihan dirimu. Dan katakan di media sosialmu bahwa engkau adalah orang biasa. Sama seperti mereka. Gampangkan," saranku.
" Saran yang keren, Bro. Engaku memang sahabat sejati. Â Dari dulu adalah pemberi solusi bagi kawan-kawan kita," ujarnya. Jawabannya ku respon dengan tawa yang terbahak-bahak. Kedua bahuku pun terguncang-guncang. Dan lelaki itu ketawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang amat ku dambakan dari sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Seorang lelaki yang kini telah menjadi penulis novel terkenal. Lelaki yang kini telah menjadi seorang pesohor yang dirindui para penggemarnya dan pembaca novelnya.
Toboali, rabu malam, 31 Maret 2021
Salam sehat dari Kota Toboali, Bangka SelatanÂ