Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sang Penggali Kubur

23 Maret 2021   10:59 Diperbarui: 23 Maret 2021   11:07 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: depositphotos

Cerpen: Sang Penggali Kubur

Hamparan sawah membentang luas.  Segerombolan burung terbang meliuk dan menyambar batang-batang pagi yang mulai menguning. Mereka terus terbang sembari menyapa angin yang melambai. Sebuah diorama kehidupan yang eksotik.

Matahari mulai meninggi. Cahayanya mulai terasa panas. Bedul mulai terlihat menguap.  Direbahkannya badannya di saung di tengah sawah itu. Semilir angin yang menyapa membuatnya bisa tertidur.  

" Apa kamu tidak pernah berpikir untuk mencari pekerjaan lain?," suara Godek temannya mengagetkan dirinya.

Bedul terdiam. Matanya justru  menatap tajam  gerombolan burung yang terus memangsa batang padi warga yang mulai menguning. Mereka memakan sekedarnya. Hanya untuk mengisi perut semata. Bukan untuk memperkaya diri sendiri seperti para kaum berdasi yang menikmati hidup mewah dari memangsa aspal, pasir hingga dana sosial warga tanpa rasa malu.

" Tidak mungkin, Bro. Aku tidak memiliki keahlian khusus. Aku cuma bisa mencangkul dan menggali kubur," jawab Bedul. Mendengar jawaban temannya, Godek cuma menelan ludah. Tak banyak komentar. Bibirnya tak bergerak sama sekali. Mata Godek itu menatap ke arah sawah yang mulai menguning. Gerombolan burung itu masih memangsa batang padi yang mulai menguning. lalu terbang lagi. Godek menatap Bedul. temannya itu sudah tertidur pulas. Semilir angin membuatnya cepat tertidur. Kadang terselip rasa kasihan saat melihat teman baiknya itu. 

Bedul, lelaki muda dan gagah itu dikenal sebagai penggali kubur paling hebat di Kampung mereka. Setiap ada kabar kematian, maka orang pertama yang dihubungi adalah dirinya. Dan setiap usai menggali kubur, maka dia menerima upah dari para kerabat yang meninggal. Upahnya bisa dalam beragam bentuk. Bisa uang. Beras bahkan kadang kala dapat baju bekas orang meninggal. Dan semua itu disyukurinya. 

" Alhamdulillah,hari ini kita bisa makan lagi Bu," ujarnya kepada istrinya.

" Aku heran sekali denganmu. Menagap memilih pekerjaan yang hasilnya tak membuat kita hidup layak? Sementara tenaga yang engkau keluarkan tak sebanding dengan upahmu," jawab Istrinya. Bedul menatap istrinya. Ada tatapan tajam dari matanya ke arah istrinya. tatapan yang tak biasa.

" Lalu dulu kenapa engkau memilihku," ujar Bedul membalik pertanyaan.

" Karena aku mencintamu dengan setulus hati. Engkau adalah pemuda yang baik hati dan sangat tulus. Menerma aku apa adanya," jawab istrinya yang melambungkan dadanya sejenak.

Kadang terselip rasa belas kasihan dari Bedul saat memikirkan mengapa istrinya itu dulu mau saja menerima pernyataan cintanya. Mereka berdua memakluminya dulu itu sebagai jodoh yang sudah diatur Tuhan.

" Maut dan jodoh, semuanya sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa," ujar istrinya saat Bedul dan keluarganya  melamarnya.

Sudah hampir enam bulan ini Bedul menggantung cangkulnya di sudut rumah. Tak ada kematian di kampung mereka. Kematian menjadi sesuatu yang langka di Kampungnya. Dulu kematian adalah sesuatu yang begitu dekat dengan Kampung Mereka. Dan, menjadi tukang gali kubur adalah pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan. Di era itu Bedul hampir tiap hari menggali kubur. Dan kebutuhan hidup dan dapurnya bisa mengebul. 

Sementara sekarang sedang musim kemarau panjang membuat ladang warga kampung tidak bisa ditanami. Bedul jadi pengangguran sekarang. Lelaki itu berharap dan berharap simpanan istrinya bisa membuat mereka bertahan cukup lama sampai hujan segera membasahi kampung mereka agar dia bisa kembali bekerja di ladang kalau memang tak ada lagi orang Kampung yang mati.

Pak Kepala Kampung tertawa puas melihat kemakmuran warganya. Dia merasa telah menjadi pemimpin yang bertanggung jawab meski beberapa dana untuk pembangunan desa tidak luput masuk ke kantongnya sendiri. Warga Kampung sehat walafiat. jumalh kematian warga menurun dengan sangat tajam. Bahkan Pak Kepala Kampung mendapat penghargaan dari Menteri atas prestasinya yang mampu menekan angka kematian di Kampungnya.

Tiba-tiba pak Kepala kampung teringat dengan Bedul. Ya, lelaki itu sudah lama tak terlihat batang hidungnya. Entah kemana lelaki muda gagah itu kini. Ada rasa sesal dalam nuraninya. Kesuksesannya sebagai pemimpin  yang mampu menekan angka kematian di kampungnya berefek langsung kepada Bedul. Tak ada lagi orang yang memintanya untuk menggali kubur.

Para jemaah masjid sudah mulai berangsur meninggalkan masjid. bedul masih khusuk di dalam masjid. Mulutnya komat kamit. Airmatanya tiba-tiba menetes di sejadah masjid. 

Suara gemuruh  membangunkan Bedul dan istrinya. Teriakan dari orang-orang di luar sana dan   suara petir seketika membuat mereka terjaga. Dengan langkah tergopoh-gopoh Bedul beranjak membuka pintu. Langit terlihat sangat marah. Terus menumpahkan air tiada henti ke bumi. Suara gelegar petir menyambar. Angin menumbangkan pepohonan besar.

Seminggu ini, Bedul sangat sibuk.  Dia menggali liang lahat untuk para korban bencana alam yang menimpa beberapa rumah warganya. Dapurnya kini mengebul. Setiap dia pulang dari menggali kubur, istrinya menyambutnya dengan wajah sumringah. Tiba-tiba Bedul teringat dengan doanya malam itu. Ya, dia teringat doanya.

Toboali, selasa, 23 Maret 2021

Salam dari Kota Toboali, Bangka selatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun