Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Tua di Teras Musala

7 Maret 2021   10:00 Diperbarui: 7 Maret 2021   17:15 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen : Lelaki Tua di Teras Mushola

Lelaki tua itu duduk di teras mushola Kampung. Kulitnya gelap.  Janggutnya sudah beruban. Mulutnya bau tembakau. Ia mengenakan kopiah hitam yang warnanya sudah terlihat kemerah-merahan. Matanya menatap sekitarnya. Lelaki itu adalah Pak  Hasan. Oleh warga kampung lelaki itu disapa dengan panggilan Pak Woi. Entah mengapa beliau dipanggil Pak Woi.

Kini, hampir setiap hari, aku tak melewatkan waktu untuk sholat berjemaah di Mushola yang terletak diujung Kampung. Dan setiap usai sholat berjemaah, aku selalu menyempatkan waktu untuk ngobrol dengan Pak Woi. 

Siang itu, usai sholat Zohor berjemaah, Pak Woi  duduk  di teras Mushola. Mukanya pucat setengah menekuk. Tampaknya, ia menyembunyikan kesedihan. Namun ia berusaha tegar.

" Pak Woi sudah makan," sapa ku saat kami duduk berdampingan.

Pak Woi menatapku. Tatapannya lembut, meski agak kering. Aku lantas duduk di sampingnya. Sekejap kemudian lelaki itu menyulut rokok yang tinggal separuh dan mengisapnya dalam-dalam. Kepulan asap membubung membentuk pulau-pulau kecil yang beterbangan.

" Alhamdulillah, sudah Nak.," jawabnya yang menyebutku dengan panggilan Nak.

" Kalau belum makan, aku beliin," ujar ku lagi.

" Alhamdulillah, sudah Nak. Aku sudah makan," katanya.

Pak Woi memainkan rokok di tangan, memutar-mutar mengitari jemari. Sejurus kemudian ia sudah berbicara lagi. Sangat pelan suaranya. 

" Saya perhatikan sekarang anak sudah rajin sholat berjemaah di Mushola ini," ujarnya. Aku menatapku Pak Woi.

" Alhamdulillah, Pak. Saya sangat kepingin sekali tiap waktu bisa sholat berjemaah di Mushola ini. Namun terkadang terbentur dengan pekerjaan saya," jawabku.

Tiba-tiba angin sepoi  menerpa kami. Suara gesekan dedaunan dalam riuh angin menimbulkan bunyi irama mendayu.

"Maaf, kalau perkataan saya membuat anak tersinggung," ujar Pak Woi berupaya menetralkan suasana.

" Oh, tidak Pak. Saya sama sekali tak tersinggung dengan ucapan bapak. Saya sungguh bahagia karena telah diingatkan," jawabku.

" jangan seperti aku ini," ujarnya lirih. Ada nada yang sangat berat dalam tuturannya. Suaranya bergetar. Aku terdiam. 

Pagi itu, usai sholat subuh, aku tak langsung pulang ke rumah. Aku sengaja ingin ngobrol dengan Pak Woi. Apalagi hari ini, aku libur kerja. Jadi tidak perlu tergesa-gesa untuk pulang ke rumah.

Sinar matahari kelihatan. Masih remang-remang. Sisa sisa gelap sudah terusir oleh semburat kemerahan di sudut langit. Kokok ayam masih terdengar satusatu. Pagi yang amat damai.

Namun hingga semua jemaah keluar dari Musholla, aku tak melihat Pak Woi. Seribu pertanyaan menggema dalam jiwa ku. Sejuta pertanyaan menggumpal dalam dada ku. kemana Pak Woi. Sementara para jemaah tak satu pun yang bisa menjawab pasti kemana Pak Woi.

" Semalam usai sholat Isya, beliau masih terlihat di mushola," ujar seorang jemaah.

Sekonyong-konyong, seorang pengurus Mushola berjalan tergesa-gesa ke arah mushola. Wajahnya terlihat dibalut kesedihan. Dan yang membuat aku ikut bersedih, pengurus musholla itu menyampaikan berita duka.

" Pak Woi telah wafat," kabarnya. Aku terdiam. Tak ada suara yang keluar dari mulut ku. Sementara pengurus mushola lewat pengeras suara mengabarkan berita duka.

Aku hampir tak percaya bahkan sangat tidak percaya.  Tetapi kemudian aku ingat kata-katanya  bahwa ia sudah pasrah kapan pun dipanggil Sang Pemilik Hidup. Masih kata Pak Woi, Tuhan tak pernah memberi kabar ketika akan memangil. Hari ini ternyata giliran Pak Woi. Tak terasa air mataku menetes. Aku kehilangan teman berbagi tentang kehidupan di Mushola. Aku banyak belajar dari Pak Woi akhir-akhir ini saat kami duduk berdua di teras Mushola. Dan aku merasa sangat kehilangan.

Toboali, minggu pagi, 7 Maret 2021

Salam dari Kota Toboali, Bangka Selatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun