Cerpen : Lelaki dengan Parang Dipinggang dan Kebun Singkongnya
Matahari mulai menyembul dbalik awan yang tipis. Sinarnya sungguh perkasa pagi ini. Seperkasa seorang lelaki Kampung yang menyelipkan parang dipinggangnya. Sementara suara gemercik arus sungai kecil mengornamen langkah kakinya.
Setiap hari, saat matahari mulai terbangun dari peraduannya, lelaki kampung itu menyusuri jalanan kecil menuju kebunnya yang terletak di atas bukit. Setiap hari, lelaki kampung itu menerobos ranting-ranting pohon kecil di hutan belantara itu untuk mencapai kebunnya yang tak begitu luas dan dipebuhi tanaman ubi singkong.
" Singkong itu telah menghidupi kita selama ini," cerita ayahnya.
" Tapi tanah di kebun itu sangat cocok ditanami dengan tanaman lainnya," kilahnya.
" Ingat,Nak. Kebun singkong itu bisa menyekolahkanmu hingga sarjana," jawab ayahnya lagi.
lelaki itu cuma menghela nafas panjang. Menatap lelaki tua yang sedang duduk di depannya. lelaki tua yang mampu menyekolahkannya hingga meraih titel Sarjana dari hasil kebun singkong yang kini dikelolanya. Di luar, rembulan bersinar dengan indah. Kerlap kerlip bintang dilangit menambah keelokan malam malam itu.
" Saya heran dengan Bedu. lulusan universitas, tapi kok berkebun," tanya seorang warga kampung dengan nada keheranan.
" Setiap orang punya pilihan hidup, Pak. Tak bisa kita memaksakan kehendak kita kepada orang lain. Soal pandangan berbeda itu manusiawi," celetuk warga yang lainnya.
"Benar. Yang amat kita sayangkan, karena Bedu itu berpendidikan tinggi. Itu saja," jawabnya.
" Apa tak boleh seorang bertitel jadi petani," tanya seorang warga lainnya. Tak seorang pun yang menjawab. Semua terdiam. Sinar matahari menerjang wajah mereka dengan garangnya. Peluh mengucur dari tubuh mereka. Kopi yang telah terseduh oleh pelayan warkop terasa makin panas.
Warga kampung selalu histeris menyaksikan hasil panenan singkong dari kebun Bedu. Setiap panen. kebun lelaki yang selalu menyelipkan parang dipinggangnya, selalu melimpah ruah. Mampu memberinya kehidupan yang layak. Padahal kebunnya tak begitu luas.
" Aneh sekali," desis seorang warga.
" Apanya yang aneh, Pak? Dunia ini?," tanya seorang warga.
" Bukan. Hasil panenan singkong di kebun Bedu selalu melimpah ruah. Padahal kan kamu tahu sendiri. kebunnya tak begitu luas," ujar seorang warga.
" Bedu itu kan seorang sarjana, Pak. Sarjana pertanian lagi. Ya, beda dong hasilnya dengan kita yang cuma belajar secara tradisonal ini," jawab warga yang lain.
Senja mulai hadir. Sinar mentari tak lagi menunjukan keperkasaannya. Di ufuk timur, sinarnya mulai melayu. Mulai meredup. Seiring geliat rembulan yang mulai terbangun dari mimpi panjangnya. langkah kaki Bedu terus menuruni bukit. Turunan bukit terjal itu mampu dilaluinya dengan taktik zigzag hingga mampu menghantarkannya tiba di jalan kampung yang belum beraspal untuk segera menuju rumahnya.
Matanya menatap jalan kampung yang sepi dengan hati yang gembira. Besok pagi, singkong di kebunnya akan dipanen. Dan telah diborong juragana Pelit dengan harga yang sangat pantas. Bersama sinar matahari pagi yang terang, Bedu menatap masa depan dengan terang benderang sebagai seorang petani singkong yang sukses.
Toboali, rabu, 24 Februari 2021
Salam dari Kota Toboali, Bangka Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H