Warga kampung selalu histeris menyaksikan hasil panenan singkong dari kebun Bedu. Setiap panen. kebun lelaki yang selalu menyelipkan parang dipinggangnya, selalu melimpah ruah. Mampu memberinya kehidupan yang layak. Padahal kebunnya tak begitu luas.
" Aneh sekali," desis seorang warga.
" Apanya yang aneh, Pak? Dunia ini?," tanya seorang warga.
" Bukan. Hasil panenan singkong di kebun Bedu selalu melimpah ruah. Padahal kan kamu tahu sendiri. kebunnya tak begitu luas," ujar seorang warga.
" Bedu itu kan seorang sarjana, Pak. Sarjana pertanian lagi. Ya, beda dong hasilnya dengan kita yang cuma belajar secara tradisonal ini," jawab warga yang lain.
Senja mulai hadir. Sinar mentari tak lagi menunjukan keperkasaannya. Di ufuk timur, sinarnya mulai melayu. Mulai meredup. Seiring geliat rembulan yang mulai terbangun dari mimpi panjangnya. langkah kaki Bedu terus menuruni bukit. Turunan bukit terjal itu mampu dilaluinya dengan taktik zigzag hingga mampu menghantarkannya tiba di jalan kampung yang belum beraspal untuk segera menuju rumahnya.
Matanya menatap jalan kampung yang sepi dengan hati yang gembira. Besok pagi, singkong di kebunnya akan dipanen. Dan telah diborong juragana Pelit dengan harga yang sangat pantas. Bersama sinar matahari pagi yang terang, Bedu menatap masa depan dengan terang benderang sebagai seorang petani singkong yang sukses.
Toboali, rabu, 24 Februari 2021
Salam dari Kota Toboali, Bangka Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H