Aku diam. Tak menyahut. Mulut ku enggan menjawabnya. Apalagi menyapa kalaimat itu. Sangat enggan sekali mulutku untuk bersuara, seolah-olah sudah termakan suara jiwa ku yang malu.
" Kalau engkau ingin memenjarakan dirimu, sana di bui. Berkumpullah bersama bajingan tengik, para koruptor yang hobbi memakan uang rakyat tanpa rasa malu itu," suara kesal teman ku bergemuruh. Ada balutan emosi dalam intonasi suaranya. Aku kembali terdiam. Tak bersuara. Tak menjawab.
Aku masih mematung di balik jendela kamar. Ku lihat anak-anak pewaris masa depan itu masih berlarian. Kebahagian masih terpancar dari wajah-wajah mereka. Awan putih tak mematung lagi. Cahaya mentari mulai terang. Langit mulai cerah. Kesibukan mulai terlihat. Suara knalpot kendaraan mulai menghingarbingarkan semesta.Â
Sementara aku masih mematung. Sisa Rinai hujan semalam telah terhapus oleh jejak langkah manusia yang bergeges menatang hidup. Wajah mereka bahagia. Kecerian mengaliri sekujur tubuh mereka. Sementra aku masih mematung dibalik jedela kamar. Ya, aku masih mematung.
Toboali, kamis ceria, 11 Februari 2021
Salam dari Kota Toboali, Bangka Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H