" jangan-jangan Mas Timpas sedang sakit," desisnya dengan nada prihatin.
" Atau jangan-jangan," hatinya jadi bimbang.
Dan ketika tanggalan di rumahnya sudah lewat tiga bulan, Rina berusaha mencari informasi tentang dimana lelaki sejati itu yang telah pernah memberinya semangat hidup berada. Sayang nomor kontak yang ditinggalkan Timpas tak aktif. Demikian pula ketika mengontak nomor kantor Timpas, tak ada kabar baik yang didapatnya. Semuanya gelap. Semuanya hitam. Tak ada jawaban yang memuaskan hatinya.
" Timpas? Mohon maaf Ibu. Kami tak kenal," jawab rescepsionis.
Rina mulai kecewa. Ada penyesalan yang mengaliri relung jiwanya. Ada rasa sesal yang menyelimuti raganya. Dan ada rasa benci yang mulai menghantui pikirannya.
" Ah, ternyata semua lelaki sama. Hanya ingin bahagianya saja," keluhnya. Tak ada yang menjawab. Tak ada yang merespon keluhannya. Angin pun enggan berdesis. Malam pun enggan menyinari bumi.
Kini Rina pun mengisi hari-harinya dengan duka. Hanya lara yang menemaninya sepanjang hari. Tak ada bahagia. Tak ada senyuman. Yang ada hanya rasa penyesalan. Yang ada hanya rasa kepedihan.Â
Dan hanya kepada keindahan pantai wanita itu bercerita. Hanya kepada kecipak air laut dia berbagi rasa. Dan kini, setiap senja dia selalu berada di pantai untuk berbagi cerita kepada alam raya dan semesta, walaupun tanpa jawaban pasti.
Toboali, 30 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H