Senja itu, semilir angin berhembus sepoi. Hembusannya menusuk kalbu para pengunjung Pantai. Keeksotikan pantai memuaskan mata yang memandang.Â
Sementara di bibir pantai kecipak air laut saling bersahutan meniupkan bunyi harmoni alam yang sangat indah bak orkestra yang memainkan lagu-lagu Mozart.
Kesepoian semilir angin tak mampu tutupi kegelisahan seorang wanita yang dipanggil teman-temannya dengan Catarina atau Rina. Wajahnya yang cantik tak mampu sembunyikan lara. Ada kedukaan yang sangat mendalam dalam raganya. Tersembunyi dalam jiwanya.
" Ayo Mbak kita pulang. Sebentar lagi azan magrib tiba," ajak seorang temannya kepada dirinya.
" Iya nih Mbak. Betah amat sih di pantai. Ada yang ditunggu ya," seloroh temannya ang lain sembari ketawa.
" Ayo. Siapa takut," sahut Rina sembari bergabung dengan kedua rekannya yang lain.
Malam makin merenta. Serenta bumi yang makin menua. Rembulan  enggan bersinar. Hanya lolongan anjing hutan yang masih berdesah mencari mangsanya. Susuri jalanan kecil di hutan yang masih tersisa di perkampungan yang mulai moderen. Dan sergapannya gagal malam ini. Tak ada mangsa. Semuanya sudah bermimpi dalam pelukan impian yang tak nyata.Â
Rina masih di depan televisi. Sesekali lirikan matanya melirik handphone yang tergeletak di atas meja. Tak ada bunyi. Tak ada suara. Dan tak ada tanda-tanda kan berdering. jam didinding sudah menunjukan angka tiga. Mustahil masih ada dering telepon malam selarut ini. Kecuali ada yang genting.
" Ah, kamu memang bikin aku penasaran," desisnya dalam hati.
Pertemuannya dengan jurnalis lokal dalam suatu acara perkenalaan produk jamu telah membuat Rina dan lelaki bertubuh atletis itu menjadi karib. Kendati hanya lewat handphone, keduanya bisa akrab dan saling mengisi.Â
Maklum Rina adalah seorang wanita yang pernah bersuami. Dan wanita single parent itu merasa lelaki yang bernama Timpas itu adalah lelaki sejati yang mampu mengobati kerinduannya. Mampu menorehkan kebahagian sejati. Dan mampu melampiaskan kedahagaannya akan kasih sayang yang hilang dimakan zaman.