Lelaki setengah baya itu menghela nafas panjang. Panjang sekali sebagaimana panjangnya narasi manis para politisi di panggung kampanye Pilkada. Sebatang rokok kretek merk terkenal dibakarnya. Asapnya membumbung tinggi. Tinggi sekali. Seolah-olah ingin berkompetisi dengan awan yang biru dilangit.
"Ah..." desah lelaki itu sembari kembali menyemburkan asap rokoknya ke udara.
"Kalau saja..." desah batinnya yang disesaki rasa penyesalan.
Sudah dua hari ini, lelaki itu bergulat dalam sebuah penderitaan hati. Hatinya berkecamuk. Nuraninya terusik hebat. Sementara itu belum ada jawaban yang patut dia berikan. Belum ada sama sekali. Pengembaraannya selama dua hari dua malam ini, belum membuahkan hasil. Padahal dia berharap pengembaraannya ini, akan memproduksi sebuah jawaban yang akan menuntaskan permasalahan yang sangat akut, yang kini sedang dihadapinya.
"Saya tunggu jawabanmu Mas, dalam dua hari ini. Kalau tidak, maka saya akan datangi keluargamu biar mareka tahu apa yang telah engkau lakukan terhadap diriku selama ini," pinta seorang wanita muda. Malam makin melarut. Selarut duka di hati lelaki itu saat mendengar pinta wanita muda itu.
"Saya hanya ingin kamu bertanggungjawab atas aksimu kepadaku selama ini," sambung wanita muda itu.
"Tapi kamu kan..." potong lelaki yang bernama Rian itu.
"Apa karena saya tidak hamil, lantas kamu bisa seenaknya membiarkan aku dalam kenestapaan ini? Apa kamu pikir, kalau saya hamil baru kamu bertanggungjawab?" tanya wanita muda itu. Malam makin pekat Kepekatan malam melahirkan kegelapan. Kegelapan jiwa bagi dua anak manusia ini.
Sebagai tokoh muda terpopuler, Rian memang pantas menjadi idola publik. Kegantengannya tak kalah dengan artis papan atas yang sering seliweran di televisi. Pengetahuannya tak kalah klas dengan para narator yang sering muncul di acara talkshow televisi nasional. Hanya nasib yang membuatnya hanya terkanal di daerahnya saja.
Keflamboyan Rian memang menjadi energi baru bagi para kaum hawa di Kota kami. Wajah gantengnya seringkali menghias media massa lokal. Narasi garangnya menjadi sumber energi baru bagi para aktivis Kota kami.
"Kalau Rian sudah bicara dikoran, maka negeri ini seolah berguncang," ujar seorang aktivis muda saat mareka kongkow-kongkow di sebuah warkop terkenal di Kota Kami.
"Iya. Gagasan yang dilontarkannya selalu up to date. Jadi referensi semua kalangan," sambung yang lain.
"Dan itu yang membedakan Rian dengan kita. Ha ha ha," ujar aktivis yang lain sambil tertawa ngakak. Mentari makin bersinar dengan panasnya.
Rian makin terpojok, saat keluarga wanita itu ikut mendesaknya untuk menikah putri mareka. Hubungan selama hampir 2 tahun membuat keluarga sudah mulai berpikir untuk meresmikan hubungan putri mareka dengan Rian. Apalagi usia putri mareka sudah sangat pantas untuk menjadi seorang istri. Sementara penghasilan Rian sebagai seorang aktivis hukum pun sudah tak perlu diragukan sebagai sumber pendapatan untuk menghidupi seorang istri.
"Saya minta nak Rian mengabarkan kepada keluarga untuk segera datang melamar putri kami," pinta Sang Ibu, wanita itu.
"Benar sekali nak Rian. Apalagi hubungan kalian kan sudah lama. Kami tak mau ada desas desus yang tak mengenakkan dari orang sekitar kami. Maklumlah mulut manusia," sambung Sang Ayah wanita itu
"Iya Ayah dan Ibu. Tapi putri belum selesai kuliahnya. Maksud saya biar dia selesaikan dulu sekolahnya. Jadi konsentrasinya tak terpecah belah," jawab Rian memberi alasan.
Rian sangat menyesali perkenalaannya dengan wanita muda yang berstatus sebagai birokrat itu. Pertemuan dialog yang diselenggarakan sebuah lembaga hukum telah membuat keduanya menjadi akrab.Â
Keflamboyanan Rian menjadi daya tarik bagi wanita yang bernama Vony. Pengetahuan Rian yang luas membuatnya makin jatuh hati kepada lelaki muda itu. Dan ketika malam terang benderang, keduanya justru menderu nafas dalam satu ranjang yang sama untuk menuntaskan hasrat sebagai manusia dewasa. Tak ada rasa sesal sama sekali dari ke duanya. Yang ada hanya senyum kebahagian.
"Apakah malam ini masih berlanjut," tanya Vony saat keduanya usai menuntaskan hasrat manusiawi.
"Aku mengagumimu sebagai wanita dewasa yang istimewa," puji Rian. Vony tersipu. Cecak di dinding pun lari. Malu menyaksikan adegan dua manusia berbeda jenis itu.Â
Rian tersentak, ketika sopir taksi yang membawanya menanyakan tujuannya. Sudah dua jam, mereka memutari Kota tanpa arah. Sudah sedemikian lama perjalanan ini bagi sopir taksi. Namun Rian belum juga menemukan lokasi tujannya. Dan ketika dilihatnya sebuah tulisan berhuruf Arab pada sebuah papan nama di halaman sebuah bangunan besar, Rian pun meminta sopir taksi untuk menghentikan mobilnya.
"Stop Pak," pinta Rian.
Dengan langkah pasti Rian memasuki sebuah gerbang sebuah pesantren. Dan dengan langkah pasti Rian memasuki areal pesantren itu dengan hati yang bahagia. Rian bertekad untuk mengabdikan ilmunya sebagai pengajar di lembaga itu, sekaligus dirinya menimbu ilmu agama sebagai bekal hidupnya nanti.
Kebahagiannya makin bertambah istimewa, ketika kedatangannya di pesantren itu disambut dengan suara azan subuh yang indah. Rian pun bergegas untuk membasuh tangan, kaki dan seluruh anggota badannya yang lain untuk segera berserah diri kepada Sang maha Pencipta. Sujud kepada Sang Maha Pencipta. Memohon ampunan dan pertolongan.
Mentari pagi mulai menyinari bumi dengan sinarnya yang indah, sebagaimana indahnya hati Rian menapak masa depannya yang indah dalam lingkungan yang baru untuk kehidupannya yang baru sebagai manusia baru.Â
Toboali, 13 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H