Tawa lepas mereka bersenandung hingga ke langit tujuh. Ada sejuta kebahagian dari derai tawa mereka. Setidaknya bisa melupakan sejenak kepenatan hidup. Setidaknya bisa melepaskan diri sedikit dari beratnya beban hidup yang teramat berat yang mereka sandang sebagai kaum jelata di negeri ini. Negeri yang katanya rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
" Ngopi dulu Mang," sapa seorang warga saat melihat Matsungkokk menyambangi Kedai Kopi. Semua warga Kampung memanggil Matsungkok dengan panggilan Mamang.
" Kok bapak-bapak tidak jumatan ke masjid," tanya Matsungkok.
" Lho...Memangnya Mamang tidak tahu edaran dari Pusat," jawab seorang warga.
" Ada virus, Mang," sambung warga lainnya.Â
" Virus ini malah mengerikan. Bahkan teramat mengerikan kalau yang saya dengar dari berita-berita di tipi. Â Makannya kita dilarang untuk berkerumun di ruang terbuka dan tempat-tempat umum untuk memutus mata rantai penyebaran virus itu," Sambung warga lainnya sambil menyeruput kopi.Â
" Virus lagi. Virus lagi," desis Matsungkok dalam hatinya setengah bertanya. Ada kekecawaan yang amat mendalam terpatri dalam wajah tuanya saat mendengar penjelasan para warga itu. Kekecewaan yang sangat mendalam. Bahkan teramat sangat dalam yang dirasakan tubuh tuanya.
###
Senja itu, Matsungkok duduk di halaman belakang rumahnya. Pandangan matanya menatap ke sekitar belakang rumahnya yang dipenuhi pepohonan Kampung. Terhampar sebuah kedamaian. Sejumlah pepohonan menambah rindangnya halaman belakang rumah tua itu. Â
Lambaian dedaunan dari pohon-pohon kekar itu menambah kedamaian bagi mata yang memandangnya. Langit tampak cerah. Burung-burung berseliweran di udara. Saling berkejaran dengan awan putih yang menari-nari di birunya langit.Â
Matsungkok menyeruput kopi. Pandangan matanya tampak nanar. Ada segumpal keresahan yang mengaliri tubuhnya. Hatinya belum puas. Belum ada jawaban yang memuaskan hatinya. Kegelisahan masih melandah sekujur tubuh tuanya.