" Kalau penynayi Kampung itu sudah hamil, bayar ongkos kelahirannya dan biaya hidupnya. saya tidak mau bermenantukan penyanyi Kampung," jawab Ayah Seno dengan suara tinggi.Â
Seno terdiam. Tak ada bantahan dari lelaki muda itu. Tak ada sama sekali. Cuma matanya nanar menatap ayahnya.
Lilik terkaget saat suatu senja, utusan Pak Kades datang ke rumahnya dengan sebuah berita dan segepok uang. Hanya kesedihan yang melanda jiwanya. Tak ada bantahan. Tak ada perlawanan. Hanya diam dan membisu yang bisa dilakukannya. Dengan menahan rasa duka yang teramat dalam. dirinya pun memutuskan untuk meninggalkan Kampung. Berselancar ke Kota bersama benih yang telah ditanam Seno dalam rahimnya. Melupakan duka yang telah menghempaskannya.
###
Jantung Lilik kembali mau copot, ketika seseorang berseragam putih-putih tiba di ruangan anaknya yang sedang dirawat. Keduanya saling bertatapan. Seolah saling mengenal. Dan...
" Lilik," sapa lelaki yang berprofesi sebagai dokter.
" Mas Seno," jawab Lilik dengan suara bergetar. " Ini anak kita,' lanjut Lilik. Lelaki itu menebar senyuman. Senyuman yang khas yang amat dikenangnya. Senyuman yang membuatnya terpesona kepada lelaki yang pernah membuahi rahimnya.Â
" Saya sudah tahu. Saya yang memeriksanya selama kamu pulang dari show di berbagai daerah," jelas Seno.
 " Iya, Bu. Ayah Seno yang memeriksa aku," jawab sang anak. " Dan kata ayah Seno kita akan tinggal bersama," lanjut sang anak yang disambut Seno dengan anggukan kepala sebagai sebuah pembenaran.
Senja itu indah. Seno, Lilik dan putranya menyusuri senja yang berhiaskan pelangi. Susuri jalanan Kota hingga tiba pada suatu tempat yang mereka idamkan. Rumah keluarga. Rumah baru mereka yang dihalamannya berpagarkan bunga bakung yang kembali menumbuh suburkan cinta mereka yang sempat mati suri. (Rusmin)
Toboali, 21 agustus 2018