Cerpen : Narator berwajah Tiga
Lelaki muda itu mengumpat. Narasinya berbalut umpatan sangat sadis. Memerahkan telinga pendengarnya. Â Memekakkan jendela telinga untuk yang mendengarnya.Kucing hutan pun lari terbirit-birit mendengar umpatan berbau itu. Â Malam makin merentah. Umpatannya terus berhembus. Mewarnai malam yang bening. Terbang bersama desisan angin. Â Menembus dinding-dinding hati para pendengar yang hina yang hanya bisa berdiam seribu kata. Tak mampu menjawab. Tak mampu berapologi. Â Tak mampu melawan. Membisu adalah jawabannya.
" Sudah tua kok tidak sadar diri," umpat lelaki itu setengah memekik. Kucing hutan lari ke rimba kecil disamping rumah pengumpat yang dilanda kegusaran jiwa mendengar ada perlawanan.
" Tak berduit lagi. Apa yang bisa kita harapkan? Apa?" lanjutnya setengah memaki dengan nada geram.
Malam makin menjauh. Jauh sekali. Seiring diksi umpatan yang terus berhembus di jagad raya. Melengkung ke udara bebas. Â Menyusup ke relung hat- penghuni Kota yang mulai terbangun dari mimpi panjangnya. Kesedihan terlihat diraut wajah-wajah para penghuni Kota. Ada airmata yang menetes ke bumi yang mulai kering kerontang dimakan adab peradaban yang mengagungkan tahta sebagai simbol kehidupan pergaulan.
Lelaki pemgumpat itu terus bernarasi mengumpat tanpa kenal waktu, Tanpa kenal lelah. Dan tanpa kenal kasta. Narasi berbalut umpatan bernada kebencian terus ditebarkannya tanpa kenal ruang. Tanpa kenal hari. Dan tanpa kenal siapa pun. Seolah-olah dengan narasi mengumpat, hidupnya makin berkasta dan bermartabat di pandangan kaum  disekelilinginya. Seakan-akan dengan bernarasi mengumpat menjadi gaya hidup baru dalam peradaban moderen mereka yang mengagungkan tahta tanpa prestasi yang hanya berumpan angpau.
Beberapa sahabatnya tak mampu menahan derap langkah sang pengumpat. Tak mampu. Mereka angkat tangan. Bahkan angkat kaki setiap bertemu lelaki itu. Ibarat orang bertinju di ring, mereka melempar handuk sebagai bukti sebuah penyerahan diri.
" Sedemikian ambisinya kawan kita itu, sehingga mengumpat adalah jalan terbaiknya mengeskalasi martabatnya sebagai manusia. Seolah-olah martabatnya meninggi dengan aksi mengumpat itu," keluh seorang sahabatnya.
" Itulah manusia. Demi ambisi apapun rela dilakukannya," celetuk temannya dengan nada suara tak habis pikir sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
" Betul sekali kawan. Apalagi kini dia sudah bersahabat baik dengan para pejabat tinggi. Makin terlihat belangnya. Makin terlihat ambisi untuk menjaga tahtanya," ujar temannya.
" Semoga saja pejabat tinggi di negeri ini tak terperdaya oleh narasi indahnya yang berbalut umpatan itu," kata yang lain.