Usai menerima penghargaan sebagai penulis cerpen terbaik, sejuta keresahan melanda sekujur tubuh Markudut. Tak ada rasa kebanggaan yang disandang lelaki muda itu usai turun dari panggung kehormatan yang sangat meriah itu. Tak ada kesumringahan yang terpancar dari wajahnya sebagai pemenang yang dielu-elukan orang. Tak ada rasa bahagia yang membungkus tubuhnya, walaupun sejuta narasi pujian diterimanya dari publik. Tak ada sama sekali. Padahal acara pemberian penghargaan sebagai cerpenis terbaik itu diserahkan langsung oleh Pak Menteri dan dihadiri seluruh stakeholder dunia sastra dalam sebuah acara yang sangat meriah dan tergolong mewah.
Kilatan blitz dari kamera para jurnalis foto dan pancaran lampu dari para kameramen televisi yang menyorotnya, tak membuat wajahnya sumringah. Tak ada sama sekali tanda-tanda kebahagian yang terpancar dari wajahnya. Entah kenapa. Usai menerima penghargaan itu kemurungan selalu terlihat dari mimik mukanya.
Malam itu sebelum acara pemberian penghargaan itu, ketika dirinya masih berada di hotel tempatnya menginap, sebuah pesan masuk. " Selamat ya, Bung. Kamu memang layak mendapatkan penghargaan itu. Karyamu sungguh hebat. Sebagai teman aku bangga, karena kamu mampu menyisihkan para sastrawan Kota yang hebat-hebat ," bunyi sms itu.Â
Markudut terdiam. Lantas dibalasnya sms itu. " Harusnya kamu yang mendapatkan penghargaan itu, sahabat," tulisnya.
" Oh, ndak. Itu karyamu. Aku tak berhak," balas sms itu lagi. Markudut hanya menelan ludah. Ibarat dirinya bertinju di ring, sebuah pukulan jab telak menghantam mukanya dengan telak. Sangat telah yang bisa membuatnya sempoyongan bahkan kalah TKO.
___
Ketika tiba di rumahnya, usai menerima penghargaan bergengsi itu, jiwa Markudut kembali terpukul. Bagaimana tidak, sebuah koran nasional yang tergeletak di lantai rumah menulisnya sebagai cerpenis terbaik tahun ini yang penuh talenta di halaman satu. Â Genre tulisannya dianggap baru dan penuh dengan alur-alur yang tak lazim sebagaimana kelaziman sebuah alur cerita dalam cerita pendek. Â Ada sebuah revolusioner dalam perkembangan dunia cerpen.
" Apakah aku harus mengembalikan penghargaan ini kepada panitia? Atau apakah penghargaan ini kuserahkan kepada dia," pikirnya.
Markudut masih ingat dan ingat sekali bagaimana cerpen itu lahir. Saat itu dirinya sedang melakukan tour literasi keliling Kampung. Di Kampung Damai, dia bertemu dengan seorang penggiat sastra Kampung damai. Namanya Lintang. Sebaya dengan dirinya.
Selama berada di kampung Damai, Lintang menjadi sahabat karibnya. Mareka berdua bak sahabat lama yang baru bertemu setelah sekian lama tak berjumpa. Hanya dalam waktu singkat keduanya sangat akrab. Kemana-mana keduanya selalu bersama dengan motor tua milik Lintang. Bak Romi dan Yuli. Selalu lengket.Apalagi Lintang mempersilahkan Markudut menggunakan rumah bacanya sebagai tempat tinggalnya selama berada di kampung.Â
" Semoga Bung betah tinggal disini. Dan saya siap membantu kegiatan literasi Bung untuk pembangunan rumah baca di kampung kami," ujar Lintang saat menyambut kedatangan Markudut.