Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Persekusi

1 Juni 2017   22:47 Diperbarui: 5 Juni 2017   01:15 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Padahal saat pertama kali datang menginjakkan kaki ke Kota ini, Kota yang katanya lebih ganas dari ibu tiri, sejuta senyum warga menyambutnya bak pahlawan yang baru saja memenangkan pertempuran di medan perang. Tak heran Markudut betah tinggal di Kota ini. Toleransi hidup antara masyarakatnya sangat tinggi. Demikian juga dengan semangat kegotongroyongan warga sangat guyup.

Dulu setiap minggu pagi, mareka para warga selalu bersama-sama membersihkan got yang mampet. Menolong warga yang sakit hingga mengumpulkan uang untuk membantu kalau ada warga yang menderita hidupnya. Sungguh sebuah tata kehidupan yang amat harmonis. Tak heran Markudut enggan pulang ke kampungnya saat kuliahnya selesai. Dia merasa sangat istimewa berada di Kota ini.

"Saya betah sekali tinggal disini,' ungkapnya kepada ayah dan ibu serta keluarganya saat ditanya kenapa dia enggan tinggal di kampung atau mengabdi di Kota lain.

"Kota ini telah mengajarkan aku tentang filosofi hidup yang damai walaupun kami berasal dari suku dan agama yang berbeda. Kota ini simbol kebhinnekaan tunggal ika. Ya, sama seperti kita hidup di kampung ini. Saling menghargai antar warga. Kota itu sudah kuanggap seperti tempat lahirku sendiri. ," ceritanya membanggakan Kota besar itu kepada sahabat-sahabatnya di kampung.

###

Kini Markudut seakan-akan ingin kembali ke kampungnya. Kampung kecil yang tak ada dalam peta dunia global. Kampung yang telah membesarkannya hingga dewasa. Kampung yang telah mengajarkannya tentang simbol-simbol kehidupan  saling menghargai dan tak menindas satu sama lain. Dikampungnya tak ada kelompok minoritas diintimidasi kaum mayoritas. Tak ada sama sekali. Malahan kaum minoritas merasa terayomi dengan perilaku kaum mayoritas yang selalu melindungi mareka. Suasana damai dan tentram pun selalu menyertai warga kampung dalam beraktivitas sehari-hari. Tak heran kalau kedamaian selalu mengiringi langkah warga setiap hari. Keharmonisan hidup menjadi simbol kehidupan antar warga.

Markudut kembali dikejutkan dengan suara koor dari sekelompok massa yang kembali mendatnagi rumahnya. Wajah mareka beringas. Bahkan teramat beringas. Selama puluhan tahun dia tinggal dan berkehidupan di Kota ini belum pernah dia menyaksikan wajah beringas warga Kota seperti yang dilihatnya dari jendela rumahnya. Wajah mareka sungguh beringas sekali.  Tak bersahabat sama sekali, seolah-olah ingin melumatkan musuh-musuhnya sebagaimana tukang ulek melumat cabe dengan ulekannya saat membuat sambel khas warungnya.

Mobil patroli keamanan Kota tiba. Massa pun bubar, walaupun beberapa mata masih memandangnya dengan kilatan mata yang amat beringas. Melemahkan jantungnya. Dengan cepat, Markudut mendatangi mobil patroli, dan langsung meninggalkan rumahnya. Sepanjang perjalanan dia terus bertanya apa salah dan dosanya terhadap warga kota sehingga mareka memperlakukannya bak binatang buruan yang siap di lumpuhkan.

'Bapak mengalami peristiwa persekusi," ujar seorang aparat keamanan saat dirinya tiba di kantor keamanan Kota. Markudut pun langsung lemas. Tubuh tegapnya roboh seketika. (Rusmin)

Toboali, Bangka Selatan, hari ke enam ramadan 1408 H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun