" Ketika amanah sebagai pimpinan di kantor  ini selesai, maka Pak Zul juga akan menerima hal yang sama seperti saya terima hari ini. Tak ada lagi yang memperhatikan. Tak ada yang peduli," ujar atasannya. Zul hanya diam. Tak membantah atau menjawab. Hanya desis angin AC yang mendesis sekaligus mengakhiri pembicaraan mareka.
Zul juga masih ingat bahkan masih terngiang dalam ingatan otaknya yang cerdas pesan dari mantan pimpinannya bahwa ketika amanah yang diberikan pimpinan tak lagi dipegangnya, maka segala hubungan dengan Kantor berakhir.
" Kecuali kita berbuat baik kepada semua bawahan dengan memperlakukan mareka sebagai manusia dan bukan sebagai bawahan," pesan mantan atasannya.
Zul kini baru merasakan. Bahkan baru menikmati pesan atasannya nya ketika amanah sebagai pimpinan di Kantor telah diserahkannya kepada birokrat yang lain. lelaki itu baru teringat kepada petuah mantan pimpinannya.
Zul juga baru tahu bahwa tak ada perlakuan istimewa dari bawahannya ketika dia meninggalkan Kantor karena selama menjadi pimpinan Kantor Zul lebih banyak memperlakukan mareka sebagai bawahan. Ocehan tiap hari dikeluarkannya untuk bawahan yang melakukan kesalahan kcil bahkan sepele. Umpatan kasar selalu dinarasikannya kepada bawahannya ketiak bawahannya melakukan kesalahan yang berulang.
Narasi bodoh, goblok dan serartinya dengan frasa itu adalah makanan sehari-hari yang diterima bawahannya. seolah-olah tiada hari tanpa narasi frasa yang tak sedap didengar oleh kuping bawahannya.
" Bagaimana saya mempertanggungjawabkan pekerjaan ini kepada atasan kalau kalian semua bodoh ?," umpat Zul kepada seorang bawahannya.
" Apa yang harus saya laporkan kepada pimpinan kalau semua bawahan saya goblok dalam bekerja," Sambung Zul dengan narasi keras yang membuat muka bawahan merah padam bak dibakar sinar mentari yang menyengat.
Tiba-tiba Zul teringat dengan istri dan anak-anaknya. Sampai disitu lelaki itu tak kuat lagi. kepalanya terasa sakit bahkan terasa sangat sakit sekali. terhuyung-huyung dia kembali ke tepian tempat tidurnya untuk sekedar melepaskan beban yang ada di otaknya dengan memejamkan matanya. Mengurut keningnya yang seakan mau meletus bak gunung.
Zul limbung. Nafasnya ditarik kuat-kuat untuk sekedar meredakan ketengan yang ada dalam otaknya yang cerdas. Meredam hantaman badai yang datang dengan ganas yang ada dalam tengkoraknya.
Zul terbaring. Rebah dalam pembaringan. Masih dengan mata yang terpejam erat. Dan masih sendirian. Diluar masih tetap gelap. Bahkan makin gelap. Cahaya rembulan enggan bercahaya. Tak terkecuali kunang-kunang yang biasanya selalu menari-nari. tak terlihat kilatan cahayanya yang berwarna-warni. Mareka telah pergi. Dan lelaki itu masih tetap sendiri di pembaringan dengan mata yang terpejam. (Rusmin)