Sudah hampir 30 tahun, pemakaman umum di kampung kami tampak amat rapi dan artistik. Semenjak diurus Mang Sidik, pemakaman yang terletak diujung Kampung itu tak terlihat  sebagaimana makam yang terkesan angker dan menyeramkan. Pepohonan yang rindang menjadi diorama pemakaman umum itu. Bermacam-macam pohon berbuah tumbuh subur di sana. Menjadi semacam ruang terbuka hijau Kampung. Malah kini areal pemakaman umum itu dijadikan lokasi tempat bermain bagi anak-anak kampung terutama di sore hari menjelang matahari mulai kembali ke peraduan. Kebahagian terpancar dari wajah anak-anak yang bermain di kawasan pemakaman umum itu. Tak ada kesan angker bagi mereka, kaum penerus bangsa ini saat berada dalam lingkungan areal pemakaman umum itu. Yang ada hanya kebahagian yang terpatri dalam lubuk hati mereka.
Dan sudah tiga puluh tahun pula, Mang Sidik mengabdikan diri sebagai petugas kebersihan pemakaman umum Kampung tanpa digaji. Ya, tanpa digaji. Kalaupun ada rezeki tambahan buat Mang Sidik, itu berasal dari sumbangan ikhlas dari para peziarah yang datang menziarahi makam keluarga mereka. Pria berusia sekitar 60-an tahun itu tampak sangat bahagia dengan pekerjaannya. Sangat bahagia. Tak ada keluhan. Tak ada sama sekali. Hanya kegirangan yang muncul diaura wajah rentanya setiap lelaki tua itu menuju pemakaman umum itu.
" Ini adalah ladang amal saya menjelang masuk ke dalam kubur. Siapa tahu bisa meringakan beban dosa saya," ungkapnya kepada para warga.
Dulunya Mang Sidik adalah veteran. Dan dia adalah salah seorang yang ikut memerdakan bangsa ini. Bersama para pejuang lainnya, pria lajang ini bertempur melawan Belanda di Kampung Kami. Usai kemerdekaan Mang Sidik mengabdi di salah satu pabrik tembaga yang ada di Kecamatan. Dan Mang Sidik mengakhiri masa pensiunnya dengan kembali ke Kampung kami.
" Di kampung ini  saya dilahirkan. Dan di Kampung ini pula saya akan menghabiskan masa hidup saya dengan beruasaha menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan masyarakat. Salah satunya dengan mengabdi sebagai penjaga makam dan mengurus makam," kata Mang Sidik.
Dibandingkan dengan para veteran lainnya yang tinggal di Kecamatan, Mang Sidik jauh dari kata sukses. Rumah tempat tinggalnya hanya terbuat dari papan. Sementara aktivitasnya hanya ditemani sepeda othel tuanya. Kemana-mana selalu dengan sepeda tuanya dengan ciri khasnya bersiul seolah-olah sedang menyenandungkan sebuah lagu yang bernada gembira.
Menurut cerita teman seperjuangannya, pada era penjajahan, Mang Sidik dikenal sebagai pejuang yang gagah berani. Tak ada kata takut saat menghadapi musuh. Tak heran era perjuangan dulu dia dikenal sebagai Singa pertempuran. Tak ada diksi takut pada jiwanya. Yang ada hanya satu tekad. Penjajah harus angkat kaki dari muka Bumi Nusantara atau bumi hanguskan mereka dari Tanah Ibu Pertiwi. Dan tak heran pula dalam setiap menggempur pasukan penjajah, pasukan Mang Sidik selalu menang. Dan pasukan penjajah lari tunggang langgang dengan korban yang tak sedikit.
" Mang Sidik orang yang sangat berani. Pokoknya tak ada pasukan penjajah yang pulang selamat kalau bertempur di wilayah Mang Sidik dan pasukannya. Maka dulu daerah kita ini, Kampung kita ini dikategorikan kaum penjajah sebagai areal ladang pembantaian bagi mereka," kisah seorang teman seperjuangannya.
" Dan Mang Sidik sangat pandai membaca tanda-tanda alam sehingga pergerakan musuh sangat mudah diketahuinya. Dari gerakan dedaunan saja beliau tahu bahwa ada musuh di sekitar mareka. Tak heran kalau pasukan penjajah selalu kalah bertempur melawan pasukan Mang Sidik," cerita teman seperjuangan Mang Sidik dengan nada suara bangga.
Masih menurut cerita teman seperjuangan Mang Sidik itu, dalam suatu pertempuran diujung Kampung, pasukan penjajah kocar kacir dibuat oleh pasukan Mang Sidik karena Mang Sidik tahu ada pasukan penjajah yang datang dan melewati daerah ini hanya dari bunyi sebuah dahan kayu yang diinjak pasukan penjajah.Â
" Dalam pertempuran diujung kampung kita itu korban dari pasukan musuh sangat banyak. Hampir semuanya tewas. Sementara dari pasukan Mang Sidik hanya seorang perawat yang ikut mengawal perjalanan pasukan beliau yang wafat," cerita teman seperjuangan Mang Sidik.
" Apa itu yang membuat Mang Sidik belum kawin juga sampai sekarang," tanya seorang warga dengan penuh rasa penasaran.
" Mang Sidik merasa bersalah atas kejadian itu, karena perawat itu berada dalam pasukan beliau. Berada dalam perlindungan beliau. Padahal perawat pasukan itu meninggal karena kaget dengan bunyi senjata yang terdengar sangat keras saat pasukan Mang Sidik dan anak buahnya terlibat kontak senjata dalam pertempuran. Bukan karena ditembak musuh," cerita teman seperjuangan Mang Sidik lagi.
Hari itu adalah tanggal 17 agustus. Tanggal yang sangat sakral bagi semua warga bangsa. Semua warga tampak antusias menyambut hari kemerdekaan dengan mengibarkan bendera Merah Putih di halaman rumah mereka. Sang Saka Merah Putih berkibar dengan gagah dan berjejer dengan rapi menghias rumah warga. Sebuah panorama keindahan yang tak dapat terlukiskan dengan diksi-diksi indah oleh para penyair. Sebuah tanda semangat nasionalisme yang sangat mengkristal dalam jiwa warga.Â
Dibalik panorama keindahan  Sang Saka Mrah Putih yang tak terperikan itu,  warga sangat heran dengan tidak terpasangnya bendera Merah Putih di halaman rumah Mang Sidik. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana Sang Saka Merah Putih selalu berkibar dengan gagah di halaman rumahnya. Biasanya usai sholat subuh Sang saka Merah Putih sudah menghias halaman rumah Mang Sidik. Sejuta tanda tanya melanda pikiran warga Kampung. Ada apa dengan lelaki pejuang itu?  Pasti terjadi sesuatu dengan Mang Sidik,' pikir para warga.
Bersama Kepala Kampung, warga mendatangi rumah Mang Sidik. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Tak ada suara aktivitas dari dalam rumah. Hening sekali. Dengan persetujuan bersama, petugas hansip kampung lantas mendobrak pintu rumah Mang Sidik. Mareka semua terkejut saat melihat seorang lelaki dengan berpakaian veteran  terbaring di kursi sambil memeluk bendera Merah Putih. Dan koor sakral Innalillahi Wainnalilahi Rojiun pun terlontar dari mulut para warga. Menggema di jagad raya semesta hingga menembus langit tujuh yang biru. Alam terasa sangat religius pagi itu. Sementara cahaya matahari bersinar sangat temaram sebagai tanda ikut berduka. (Rusmin)
Toboali, Bangka Selatan, sabtu malam 13/8/2016.
Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H