Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Penantang Tuhan

12 Agustus 2016   10:49 Diperbarui: 12 Agustus 2016   10:58 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki itu mentap malam dengan geramnya. Hatinya menebar sejuta kekecewaan. Sejuta serapah dilontarkannya ke langit yang biru. Malam makin kelam sekelam hati lelaki yang masih terduduk dengan sejuta kekesalan jiwa. Sementara mulutnya masih terus mengomel dan mengomel tanpa tujuan. Indahnya cahaya rembulan seolah menjadi saksi serapahannya. Alam pun hanya berdiam diri. Tak mampu menjawab kegeraman jiwanya.

" Tuhan, apa salah aku hingga engkau tega menyiksaku,? serapahnya. Langit masih kelam dengan cahaya rembulan yang kelam tanpa mampu menjawab serapah lelaki itu. Desis angin yang sepoi tak mampu menghilangkan kegundahan jiwanya. Lolongan anjing hutan liar tak mengurangi sumpah serapahnya.

Dulu lelaki itu adalah manusia yang religius. Bahkan di kampungnya dia dikenal sebagai pengkhotbah bahkan Imam masjid. Kehidupan pribadinya bersama sang istri amat harmonis bahkan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat. Banyak masyarakat yang iri dengan kehidupan pribadi mareka yang amat bahagia.

" Duh romantis amat mareka ya," ujar seorang warga saat melihat lelaki itu dan istri berboncengan dengan sepeda onthelnya mengelilingi Kampung pada suatu sore yang damai.

" Sungguh bahagia melihat mareka. Semoga kita semua bisa seperti itu," sela warga yang lain.

" Amin," ujar warga dengan suara koor yang menggema di langit biru.

###

Perkenalaan lelaki itu dengan seorang wanita setengah baya adalah awal kehancuran hidupnya. Kelaraan mulai melanda hidupnya. Hidupnya mulai diliputi kedukaan. Duka menjadi ornamen hidupnya. Dan bencana hidup pun mulai menghiasi perjalanan hidupnya sebagai manusia. Pertengkaran dengan sang istri menjadi ornamen hidupnya. Tiada hari tanpa bertengkar. Dentuman barang-barang pecah sudah menjadi trade mark keluarga lelaki itu.

" dasar lelaki mata keranjang," serapah istrinya.

" Kamu itu istri yang tidak bisa melayani suami dengan baik sesuai dengan keyakinan kita," jawab suaminya.

" Kamu mau berpoligami? Langkahi dulu mayat saya. Saya tidak ikhlas dunia akhirat," celetuk istrinya dengan nada garang.

" Kamu setuju atau tidak setuju, saya tetap akan menikahi perempuan itu," jawab lelaki itu. 

Lelaki itu akhirnya menikahi wanita setengah baya itu. Dan semua narasi pun mulai terlontar dengan tajam ke arah jantungnya tanpa mengenal waktu bak peluru yang dilontarkan ke medan perang. Setiap hari warga Kampung menarasikan perilaku poligaminya. Dan lelaki itu pun mulai terhuyung-huyung dalam menatap alam. Pertengkaran mulai mewarnai hidupnya.

" Kamu itu telah gagal sebagai suami. Dan saya menyesal menikah denganmu," kata istri keduanya.

" Gara-gara kamu saya seperti ini. Dan gara kamu pula saya tidak dipercaya orang," jawab lelaki itu.

" Karena kamu memang tidak layak jadi lelaki sejati. kamu itu pantasnya menjadi banci," sambut istrinya. Lelaki itu hanya terdiam.

" Saya akan meninggalkan kamu detik ini juga," lanjut istrinya. Lelaki itu tergagap-gagap. Tak mampu menahan langkah sang istri yang telah meninggalkan rumah. Lelaki itu pun mulai terkulai. 

###

Lelaki itu mulai menjadi malam sebagai denyut nadi hidupnya. Kehidupan malam menghias hidupnya sehari-hari. Tak ada lagi waktu mengabdi kepada Sang pencipta. Tak ada lagi waktu untuk berbagi kebahagian untuk sesama di masjid. Malam adalah waktu yang sangat istimewa baginya. Setiap malam lelaki itu mengumbar nafsu dari satu pelukan ke pelukan wanita lainnya tanpa malu, Dasyatnya kejantannanya dilontarkannya kesembarangan wanita malam. Kejantanannya diumbar tanpa malu. Jiwanya labil. Nuraninya terkikis oleh nafsu hewani.

Lelaki itu terkapar ketika vonis dari dokter yang menyatakan dirinya pengidap penyakit HIV. lelaki itu terkulai. Hidupnya seolah-olah mati. Tak ada lagi kebanggan hidupnya sebagai manusia dan lelaki. Tak ada lagi. Hanya sumpah serapah pun dia lontarkan kepada Sang Maha Pencipta. Menyalahkan Sang maha Penyanyang tanpa introspeksi diri.

Lelaki itu masih terus menyerapah Tuhan tanpa kenal waktu. Tiada hari tanpa narasi serapah dari mulutnya. Sementara waktu terus berjalan seiring perputaran matahari dan rembulan. Lelaki itu hanya menunggu waktu. (Rusmin)

Toboali, Bangka Selatan, jumat 12/8/2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun