Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketupat untuk Ibu

9 Juli 2016   11:08 Diperbarui: 9 Juli 2016   15:46 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap hari Lebaran tiba, Zainal sangat menunggu ketupat buatan Ibunya. Ketupat yang terbuat dari daun kelapa muda itu sungguh sangat dinantikan Zainal dan adik-adiknya. Ibunya sangat piawai dalam membuat ketupat khas lebaran itu sehingga rasanya sungguh nikmat. Apalagi dibumbuhi dengan soto khas Ibunya sehingga menambah nikmat momentum lebaran.

Kini sudah tiga lebaran Zainal tak bisa menikmati ketupat istimewa buatan Ibunya. Jarak membuatnya kedua anak beranak itu tak dapat merayakan momentum Idul Fitri. Dan sebagai anak Zainal sangat menyesalinya. Hingga airmatanya selalu mengalir dari kedua kelopak matanya.

Momentum istimewa Idul Fitri kali ini Zainal, telah bersiap untuk pulang Kampung dan menemui Ibunya. Selain untuk meminta maaf, momentum spesial itu akan dimanfaatkannya untuk menikmati ketupat khas Ibunya. Apalagi dari penjelasan sipir dirinya akan bebas tiga hari sebelum lebaran.

" Pak Zainal. Selamat ya. Bapak akan bebas tiga hari sebelum lebaran," ungkap petugas lapas. Dan zainal sungguh bahagia mendapat kabar spesial itu. Setidaknya kerinduannya kepada Ibu yang sudah akan terobati dan akan dapat terlampiaskan. Zainal akan mencium kaki Ibunya sebagai tanda penyesalan. Dan Zainal berjanji akan menjaga Ibunya serta tidak akan merantau lagi.

" Buat apa kamu merantau,Nak? Apa kondisi ekonomi di sini tak mencukupimu," tanya Ibunya saat Zainal menyatakan akan meranatu ke Kota.

" Saya ingin mencari pengalaman,Bu," dalih Zainal.

Walaupun dengan berat hati, Zainal akhirnya diizinkan Ibunya untuk merantau ke Kota. Dan sejuta pesan suara langit ditambahkannya dinurani anaknya agar bisa menjaga diri.

" Dikota kamu harus bisa menjaga diri. Jangan terlena dengan keindahan Kota yang palsu. Ingat kejujuran adalah pangkal hidup," pesan Ibunya. Zaianal hanya mengangguk-angguk.

Baru seminggu di Kota, Zainal sudah harus berhadapan dengan buasnya Kota. Maklum Zainal berangkat ke Kota hanya dengan bekal nekad. Tak pelak pekerjaan yang diperolehnya pun yang sesuai dengan ketrampilannya yang hanya mengandalkan otot sebagai petugas jaga malam sebuah pasar.

Zainal masih ingat bagaimana peristiwa naas itu menimpanya. Saat patroli malam bersama rekan kerjanya, Zainal mendapati sekolompok orang sedang mencongkel pintu sebuah ruko di Komplek Pasar. Bersama temannya sesama petugas jaga malam, Zainal langsung menghampiri dan menghalau para pencongkel Ruko agar segara lari.

Namun teriakan Zainal dan kawannya justru mendapat tantangan dari para penguras Ruko yang berjumlah lima orang. Perkelahian pun tak terhindarkan. Dua lawan lima. Berbekal ilmu silat yang diperolehnya saat masih kecil, Zainal dan kawannya mampu melumpuhkan kelima pencoleng itu. Namun Zainal harus menerima akibatnya. Salah satu pencoleng ruko meninggal karena terkena sabetan parang. Dan zainal pun akhirnya harus menerima hukuman di penjara.

Kabar masuknya Zaianal ke dalam penjara, memang tak pernah dikabarkan temannya ke Kampung. Mareka tak ingin Ibu Zainal menderita mendengar kabar tentang anaknya. Hingga Zainal akan bebas, Ibunya tak pernah dikabari tentang keberadaan Zainal yang sebenarnya. Kalaupun Ibunya bertanya tentang Zainal, maka teman dan adiknya selalu bilang bahwa Zainal belum bisa pulang karena pekerjaannya.

" Bang Zainal belum bisa pulang ke Kampung Bu karena pekerjaannya," jelas adiknya.

" Iya, Bu. Sebelum kami pulang Zainal titip salam buat Ibu dan mohon doanya," ungkap seorang teman Zainal.

" Sebagai Ibu saya selalu berdoa, agar anak saya sehat dan selalu dalam lindungan Allah," ucap Ibunya.

Usai bebas dari penjara, Zainal langsung mudik ke Kampung Halamannya. Wajahnya sumringah. Maklum kali ini dia membawakan ketupat yang dibuatnya sebelum dirinya bebas. Ketupat ini akan dipersembahkannya untuk Ibu. Manusia yang paling dihormatinya dan dicintainya dengan setulus hati. Perjalanan panjang dan sangat melelahkan dari Kota tak dihiraukannya. Tekadnya cuma satu bisa bertemu Ibunya dan memberikannya hadiah ketupat yang dia buatkannya. Pukul tiga pagi Zainal tiba di kediamannya. Suasana tampak ramai. Dari kejauhan terlihat hilir mudik orang-orang datang ke rumahnya. Hati Zainal mulai tak enak. Ada sesuatu yang tak beres yang terjadi di rumahnya, pikir Zainal. Zainal pun mempercepat lanmgkah kakinya.

Dan apa yang dipikirkan Zainal memang menjadi. Ibunya telah wafat saat hendak menyiapkan menu makanan untuk sahur. Teriakan histeris pun mengalir dari Zainal. Gemanya meresonansi alam.  Airmatanya kembali mengalir dari kelopak matanya. Beberapa tetua Kampung menyabarkannya.

" Semuanya sudah kehendak yang diatas," ujar Pak Kepala Kampung.

" Alhamdulillah beliau meninggal saat bulan suci ramadan. Semoga beliau khusnul khotimah," lanjut Pak Kepala Kampung.

Zainal hanya tepekur. Berserah diri. Ada rasa sesal dalam jiwanya. Kalau dulu dia tak memaksakan kehendaknya untuk ke Kota, tentunya dia masih bisa bersama Ibunya. Dan yang paling penting dia tak mendapat predikat sebagai narapidana. Sementara ketupat dalam tasnya yang hendak dia berikan kepada Ibunya kini hanya jadi penghias. Ketupat itu sudah layu. Selayu hatinya yang diliputi rasa kepedihan yang mendalam dan rasa penyesalan yang tak terperikan. (Rusmin)

Toboali, Bangka Selatan 9/7/2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun