Perilaku Gubernur DKI jakarta Ahok yang mengusir wartawan di balai Kota beberapa waktu lalu menunjukan kepada kita bahwa aksi purba itu bukan sekedar arogansi seorang penguasa daerah semata, namun sebuah aksi yang sangat melemahkan kerja profesional seorang wartawan.
Bagaimana tidak, Ahok tampaknya melupakan kontribusi dari para jurnalis dalam mengeskalasi namanya dalam jagad selebritis politik negeri ini dengan kerja cerdas para jurnalis sehingga semua gagasan, ide bahkan prestasi Ahok bisa terkonsumsi oleh publik ramai dan mengetahui sepakterjang Ahok sebagai kaum bangsawan pikiran bangsa.
Semenjak menjadi Bupati Belitung Timur hingga menjadi Gubernur DKI, peran para pemburu berita tak dapat dilepaskan dari Ahok. Semua kegiatan Ahok menjadi buruan para kuli tinta untuk diberitakan dan menjadi konsumsi publik sehingga masyarakat tahu apa gagasan, prestasi Ahok sebagai pemimpin daerah.
Sepengetahuan saya, semenjak menjadi Bupati Beltim Ahok memang telah menjadikan media sebagai ruang untuk berekpresi dan menyampaikan program dan produknya sebagai pengemban amanah rakyat. Walaupun secara jujur saat mengemban amanh sebagai Bupati Beltim  Ahok masih kalah klas dengan para Bupati daerah lainnya di Bangka Belitung.
Demikian pula saat menjadi anggota DPR RI, Ahok selalu menyuarakan gagasan, ide dan wacana tentang pembangunan lewat media. Beberapakali saya menyaksikan Ahok muncul di media televisi.
Yang amat mengherankan kerja cerdas para jurnalis justru harus ternodai oleh Ahok dengan cara mengusir mareka saat di Balaikota. Sebuah aksi dari seorang pemimpin moderen yang dibesarkan oleh media  yang tidak simpatik dan mengamnesiakan sebuah kerja luhur dari para jurnalis untuk mengeskalasi kegiatan Ahok kepada publik ramai. bagaimanapun juga Ahok tak bisa mengelak dan membantah kebesarn namanya dalampanggung politik negeriini taklepas darikerja cerdas para jurnalis negeri ini. Pertanyaan kita patutkah seorang bangsawan pikiran bangsa selevel Ahok lupa kacang dengan kulitnya?
Pada sisi lain, para jurnalis hendaknya menjadikan aksi Ahok di Balai Kota sebagai medium untuk kontemplasi diri dalam menjalankan kerja cerdas dan intelektualnya sebagai pemburu berita. Para jurnalis harus meningkatkan kwalitas diri sebagai jurnalis sehingga tak ada lagi aksi buruk terhadap mareka dalam memburu dan menginterview narasumber.
Meningkatkan kwalitas diri dan kompeten atas bidang kerja tampaknya menjadi harga mati seorang jurnalis sehingga profesi yang mulia ini tak lagi menjadi bahan lelucon para pemegang kekuasaan yang kadang kala anti kritik dan hobby di puja saja. Pada sebagai manusia, para pemegang kekuasaan itu bukanlah manusia sempurna. Bukankah manusia itu gudangnya salah? termasuk para pemegang kekuaasaan daerah dan pekerja jurnalis.
Semoga peristiwa di Balaikota beberapa hari yang lalu menjadi bahan evaluasi semua pihak, tak terkecuali para jurnalis dan pemegang kekuasaan bahwa bersinergi itu lebih baik daripada saling menyakiti. Apalagi di bulan puasa ini, mestinya semua pihak dapat menahan diri dari kelakuan yang saling menyakiti. Salam Junjung Besaoh...(Rusmin)
Toboali, Bangka Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H