" Bung ini bisa saja. Ada-ada saja sebagai bahan lelucon hidup," kata lelaki itu saat ditanya teman serumahnya saat mareka berbincang.
" Tapi bung jadi bahan pembicaraan kaum hawa disini. Jadi trending topik kaum wanita," ujar temannya dengan tatapan genit. lelaki itu hanya tertawa. Tawanya membelah malam yang makin pekat dibalut asap yang tak kunjung pergi. Keduanya pun saling berngkulan untuk membelah malam yang makin genit sebagaimana genitnya dua lelaki dewasa itu dalam keheningan malam yang makin menyuarakan birahi.
Lelaki itu memahami benar sebagai seorang lelaki dewasa dirinya sudah sepatutnya mendapatkan sahabat baik untuk dijadikan teman hidup dalam menatap masa depan yang makin liar dan ganas. Harapan dari keluarga, sahabat baik dan kawan karibnya agar diirnya segera mengakhiri masa lajangnya sebagai pria dewasa seolah-olah sesuatu yang tak mungkin dia perankan. Berkeluarga adalah sesuatu yang mustahil dia lakoni sebagai lelaki seutuhnya. Pengalaman masa silam membuat dirinya menjelma sebagai lelaki yang tak merindukan kasih sayang seorang wanita.
lelaki itu masih ingat dan sangat ingat ketika masih di Sekolah Dasar di Kampung, lelaki itu mendapati ayahnya harus menerima bogem mentah dari Ibunya. Dan peristiwa itu bukan hanya sekali disaksikannya. Berkali-kali. Dan bukan hanya bogem saja yang diterima ayahnya. Namun diksi makian keluar dari mulut tipis Ibunya yang menorehkan luka dalam jiwanya.
" Tidak semua perempuan seperti Ibumu, nak," ungkap ayahnya saat mareka harus keluar rumah dan meninggalkan Kampung kelahirannya.
" Ayah yang salah karena telah menyusahakan Ibumu. Dan wajar ayah mendapat cacian dari Ibumu sebagai jawaban atas kesalahan ayah," ungkap ayahnya.
lelaki itu tumbuh dewasa dibawah bimbingan kasih sayang sang ayah dan sukses menghantarkannya sebagai lelaki bermartabat dengan simbol berpengetahuan yang tinggi. Sebuah didikan dari sang ayah yang menempanya tak peduli dengan wanita. Sebuah perjalanan panjang tanpa adanya kasih sayang dari seorang wanita. Dan dia sebagai lelaki begitu bangga dengan ayahnya.
Seorang lelaki yang penuh kasih sayang dan sarat kelembutan yang tak diperolehnya dari seorang wanita dalam belasan tahun. Kasih sayang dari ayah membuatnya harus menempuh jalan panjang yang sarat dengan makian, cacian serta hinaan dari sekitar. Â Dan dia menyadarinya itu semua sebagai bentuk dari melawan kodrat insani. Dan ketika sebagai pria dewasa dia mencintai sahabat lelakinya, tak ada yang bisa menjawab. Tak ada yang bisa menolak. Tak terkecuali wanita yang selalu menungguinya hingga malam meneteskan embun untuk basahi bumi yang mulai kering kerontang. Sebuah penantian panjang dimalam yang makin panjang. (Rusmin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H