Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Dirindangnya Pohon Ketapek

22 April 2016   12:52 Diperbarui: 23 April 2016   04:02 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin semilir. Hembusan sepoinya menenteramkan jiwa. Lambaian dedaunan bahagiakan jiwa-jiwa. Keraksaan pohon-pohon yang berderet rapi hamparkan ketenangan. Dan lelaki itu terus melangkah susuri deretan pepohonan. Kadang berhenti sementara sembari menyapa para pekerja yang asyik menanam.

"Selamat pagi,ibu-ibu. Apa kabarnya hari ini," sapanya.

Hempasan sinar mentari yang bercahaya tak susutkan langkah lelaki itu untuk terus berjalan dan melangkah di rindangnya pepohonan. Kecemasan raga tak dipedulikannya. Keringat mengucur deras bak aliran sungai yang mengapit hutan. Lelaki itu terus berjalan sembari melihat perkembangan benih yang mulai ditebarkannya di areal hutan.

Ini adalah bulan ke enam bagi lelaki itu beradaptasi dengan hutan raya dan raksasanya pepohonan yang menghuninya. Dan kebahagian makin menghampiri wajahnya saat berada di dekat pohon ketapek yang merupakan pohon asli daerah hutan ini. Walaupun langkah, pohon itu menjadi magnet baginya untuk betah berada dalam lingkungan hutan ini.

"Sepuluh tahun mendatang pohon Ketapek ini akan menjadi simbol hutan ini bersama dengan pohon melanger," harapnya.

Lelaki itu tak menyangka, keasrian hutan dan raksasanya pohon-pohon di rimba ini menjadi sahabat karibnya kini baik siang maupun malam. Baik dikala lara dan maupun bahagia. Kesinambungan alam dan berlanjutan hutan menjadi daya tarik bagi lelaki itu untuk hidup bersama pepohonan yang rindang. Meninggalkan kesibukannya di kota. Meninggalkan gedung-gedung pencakar langit Kota yang kadang tak memanusiawikan diri dan para penghuninya yang terbius kekuasaan dunia.

Alam mengajarkannya banyak pelajaran hidup yang istimewa. Pepohonan mengajarkannya untuk bersikap jujur pada nurani. Alam rimba mengajarkannya untuk saling berbagi dan memberi manfaat. Pohon Ketapek dan Melanger mengajarkannya untuk hidup saling berdampingan tanpa harus melemah salah satunya. Berdampingan justru menguatkan akar-akar kehidupan pepohonan hingga mareka meraksasa secara bersamaan. Sesuatu yang jarang didapatnya saat masih hidup di Kota yang angker rasa kemanusiaannya disusupi rasa keegoisan diri.

Sore itu, lelaki itu bersandar di rindangnya pohon Ketapek yang bersebelahan dengan pohon melanger yang menjadi sumber hutani hutan ini. Keteduhan dua raksasa pepohonan ini menjadi tempatnya bersantai dikala waktu senggangnya melihat-lihat perkembangan pepohonan yang mulai dibenihnya. Dan lelaki itu yakin dan menyakini dalam sepuluh tahun ke depan alam rimba berserta penghuninya akan menjadi trending topik dunia.

"Insya Allah, 10 tahun ke depan para ilmuwan dunia akan menoleh hutan ini," desisinya penuh optimis.

Mengelola hutan bagi lelaki ini laksana diberi sebuah amanah yang maha tinggi dari Sang pencipta. Tak heran seluruh kemampuannya sebagai orang yang paham dunia kehutanan yang didapatnya dari luarnegeri membuatnya mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjaga hutan raya beserta isinya.

Namun kadangkala ditengah kesucian hati dan niatnya untuk menjaga amanah ini, riak-riak kecil kadang kala menghampirinya. Tuduhan tanpa fakta sering dialamatkan kepada dirinya. Apalagi di daerah yang terkenal dengan hasil tambang, berita tentang dirinya mengaksikan penambangan di areal rimba yang subur itu tak terelakkan.

"Saya ini bukan penambang. Saya tak punya basis ilmu pertambangan," kilahnya.

Langkah lelaki itu terus susuri hutan dan pepohonannya. Belahan sungai yang membela jalanan kecil membuatnya seakan mendapat tenaga baru dalam melangkah. Kerikil-kerikil kecil yang bertebaran di jalan seolah menjadikan langkahnya kian meraksasa untuk melestarikan hutan sebagaimana makin membesarnya benih-benih yang mulai ditebarkannya di areal hutan.

Mentari mulai menenggelamkan diri seiring terbangunnya rembulan dari mimpi panjangnya. Rutinitasnya sebagai pemberi cahaya bagi para penghuni dunia mulai menggeliat. Sinarnya hadir diantara pepohonan rindang di hutan. Dan lelaki itu sungguh bahagia saat melihat malam ditengah raksasanya pepohonan yang rindang ditingkahi derit dedaunan pohon yang melambai diterjang kesepoian angin malam yang sejuk.

Dan lelaki itu amat menyakini bahwa sepuluh tahun ke depan, hutan dan pepohonan ketapek dan melanger yang meraksasa akan melejitkan nama daerah ini dan mengejutkan dunia.

"Mareka akan menoleh ke sini," desisnya sembari menatap pepohonan raksasa.

Malam makin menua. Sinar rembulan pun makin meninggi. Tinggalkan penghuni bumi yang mulai bermimpi. Bermimpi tentang kekuasaan. Bermimpi tentang harta dan tahta. Dan mareka belum bermimpi tentang keasrian alam yang menjadi mimpi lelaki yang bahagia dibawah rindangnya pohon ketapek yang menghuni hutan itu. (Rusmin)

Toboali, Bangka Selatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun