"Kalau saya menjadi anda, maka saya akan mundur. Dan menyerahkan jabatan kepada pimpinan karena saya merasa telah gagal memartabat amanah dari pimpinan dan berimbas terhadap nama baik daerah ini. Tak ada warisan yang patut diwariskan untuk anak negeri ini," ungkap Calog.
"Selama tidak ada intruksi dari pimpinan untuk mundur, maka saya tidak akan meninggalkan amanah dan tanggungjawab ini. Saya bekerja berdasarkan aturan. Bukan hanya mengandalkan hati nurani semata, Bung," jawab Cagal.
"Setiap orang punya prinsip masing-masing dalam gaya hidup. Ada yang menjadikan amanah sebagai pengabdian untuk orang banyak. Dan ada pula yang mengabdi pada jabatan sehingga sangat sayang dengan jabatan. Bahkan ada yang rela tidak mendapatkan kasih sayang hanya untuk sebuah jabatan. Itu manusiawi sekali Bung," ujar Calik.
Diskusi ketiga lelaki disudut sebuah warkop malam itu memang tampak sangat serius dan menyedot perhatian dari pengunjung Warkop. Maklum ketiganya dikenal sebagai para lelaki yang memiliki latar belakang pendidikan dan ruang pengabdian yang berbeda.
Calog adalah lelaki dengan latar belakang sebagai jurnalis. Sementara Cagal adalah lelaki yang menduduki posisi dalam birokrasi. Sedangkan Calik adalah tokoh pergerakan yang sangat idealis. ketiganya dikenal menjalin persahabatan yang sangat kental. Tapi ketiganya dikenal warga sebagai lelaki yang saling berseberangan dalam menyikapi persoalan yang ada di daerah.Â
Dan ketiganya dikenal sebagai lelaki yang memberi warna dalam dinamika kehidupan demokrasi di tempat mareka tinggal. Setidaknya gaya persahabatan mareka yang sarat dengan perdebatan saat bertemu, selalu menjadi menu utama para pengunjung Warkop.
"Aku heran dengan Calog, Cagal dan Calik. Ketiganya bersahabat baik. Tapi ketiganya dikenal sangat berseberangan dalam pemikiran dan tindakan," ujar seorang pengunjung Warkop pada suatu pagi yang matahari harus berkalungkan kabut asap.
"Iya. Tapi mareka tetap bersahabat. Itu yang membuat aku salut dan bangga dengan kehidupan silaturahmi mareka. Patut dipuji. Layak dicontoh," sambung pengunjung lainnya.
"Mareka kan sudah dewasa dalam pemikiran. Dewasa dalam berorganisasi sehingga semua perbedaan tak harus dibawa dalam hati. Itu lah dinamika demokrasi. Esensi sebuah demokrasi. Saling menghargai pendapat," papar pengunjung lainnya yang dikenal dekat dengan ketiga lelaki itu.
"Dan yang harus kawan-kawan pahami ketiganya tak pernah membawa persoalan pribadi dalam diskusi mareka. Bahkan mareka saling menutupi," sambung lelaki itu.
Jalinan persahabatan ketiga lelaki istimewa itu memang membuat iri para warga Kota. Tak heran ada yang berusaha menabur api dalam menyikapi akrabnya persahabatan. Mareka berusaha memisahkan jalinan persahabatan ketiga lelaki itu dengan narasi yang berbau provokasi. Keakuran ketiganya dalam bersahabat seakan menjadi batu sandungan bagi beberapa orang. Dan usaha untuk mengaplikasikan gaya devide et impera persahabatan ketiganya pun selalu ada. Selalu muncul. Sebuah dinamika kehidupan Kota yang mulai ramai dengan hiruk pikuk demokrasi dan intrik yang kadang tak berlandaskan akal sehat dan hati nurani.
"Aku heran dengan Calog. Kok selalu mengkritik kebijakan Anda sebagai pimpinan dinas," kata seorang warga saat bertemu Cagal di kantornya.
"Itu sangat wajar dan harus. Calog selalu memberikan nutrisi kepada saya berupa kritik sehingga saya menjadi sehat dalam menjalani posisi sebagai pimpinan di Dinas ini. Kalau tak ada kritik dari dia maka saya sudah lama di penjara karena tergiur dengan uang dan kekuasaan," jawab Cagal dengan narasi tenang dan berwibawa.
"Jadi Anda tak benci dan sakit hati atas kritik yang dilontarkan Calog,' tanya warga itu.
"Kenapa saya benci dan sakit hati? Apa yang disampaikan Calog dalam tulisannya fakta dan mengingat saya untuk tidak main-main dengan jabatan ini. saya justru berterima kasih karena sebagai sahabat dia masih mengingatkan saya," jawab Cagal dengan wajah sumringah.
"Demikian pula yang dinasehatkan Calik, sangat berguna bagi saya sebagai pengemban amanah di Dinas ini. tak ada yang istimewa dari semua narasi yang mareka sampaikan. Biasa-biasa saja bagi saya. Malah saya bersyukur mareka sebagai sahabat mengingatkan saya." sambung Cagal. Dan mati kartu lah warga itu.
Matahari pun bersinar dengan tetap berkalungkan kabut asap buatan dari tangan-tangan jahil yang haus kuasa.
Gagal menuaikan api dalam naluri Cagal, warga berusaha untuk kembali menaburkan api dalam jiwa Calog. namun usaha warga ini kembali menemui jalan buntu.
"Saya amat kenal dengan karakter sahabat saya Cagal. Tak mungkin beliau mau bermain api dengan jabatannya. Saya tahu di diamanahkan pimpinannya sebagai pimpinan Dinas karena kemampuannya memang sudah teruji. Kepiawaiannya dalam bekerja sudah terbukti. Kinerjanya sangat baik dalam mengangkat harkat dan martabat daerah ini," jawab Calog.
"Jadi anda tidak percaya dengan data yang saya sodorkan ini," lanjut warga itu.
"Sangat tidak percaya sama sekali. Karena sebelum anda memberikan data ini saya sudah sodorkan data ini kepada kepada Cagal. Dan memang tak terbukti adanya adanya pemotongan 30 persen dana perjalanan dinas pegawainya," jelas Calog kepada warga itu. Warga itu pun malu. Ada kekecewaan yang terselip dalam raut wajahnya yang berkalungkan api.
Bagi ketiga lelaki itu, hubungan persahabatan memang tak harus diukur dengan saling berbasa basi dan saling membantu. Dukungan yang datang dari sahabat apakah itu dalam bentuk kritik, saran dan nasehat adalah sesuatu yang harus diikat dalam menjalin tali persahabatan yang hakiki sehingga tak ada kata dusta dalam persahabatan. Ketiganya sangat menyadari bahwa dalam tiga kepala tak selalu sama dalam memandang sebuah persoalan. Walaupun dalam titik tertentu mareka memiliki kesamaan dalam melihat permasalahan.
"Saya mengkritik Cagal agar dia amanah dalam memegang jabatan. Dan sebagai seorang sahabat saya malu kalau sahabat saya dipenjara karena terlena dengan kekuasaan dan buaian narasi manja dari orang-orang yang memang tak tulus menjalin persahabatan dengan dirinya. Saya amat malu kalau sahabat saya itu tak mampu bekerja dengan kinerja yang baik. Dan saya juga turut bersalah kalau membiarkan sahabat saya hanyut dalam kerja yang tak baik dan merugikan daerah dan bangsa ini," ungkap Calog dalam sebuah percakapan dengan beberapa pengunjung Warkop.
"Dan saya pantang mengkritik orang dibelakang yang bersangkutan karena apa yang kita narasikan itu tak pernah didengar orang yang kita kritisi. Kalau saya mengkritisi Cagal, saya selalu menyampaikannya di depan mukanya secara langsung tanpa tedeng aling-aling dengan seribu fakta sehingga beliau tahu apa yang kita sampaikan," lanjut Calog sambil menyeruput kopi.
"Dan itulah yang menyebabkan persahabatan kami langgeng karena kami saling mengingatkan walaupun dengan narasi yang kadangkala sangat kritis," sambung Calik. Pengunjung Warkop pun terdiam seribu bahasa. Cuma dalam hati mareka mengagumi gaya persahabatan ketiga lelaki itu. Sesuatu yang sangat istimewa dalam budaya persahabatan yang selalu dibekali dengan tahta dan kuasa serta angpao.
Persahabatan tiga lelaki itu memang sangat istimewa dan penuh dinamika. Ketiganya mampu melewati masa-masa kritis dalam persahabatan. ketiganya mampu menerjang onak kehidupan yang sempat mematahkan tali persahabatan mareka. Ketiganya mampu merengkuh jalinan persahabatan tanpa harus saling mendustai diri dalam bersahabat. Ketiganya mampu melayari dunia persahabatan hingga menuju tujuan yang amat mareka rindui.
"Dan kami tidak pernah mendustai persahabatan kami dengan yang namanya prasangka. Kalau ada sesuatu yang patut diomongkan dan dikritisi sampaikan," ujar Cagal.
"Kami bersahabat karena hati. Bukan karena kekayaan dan kekuasaan sahabat," sambung Calog.
"Tak heran persahabatan kami langgeng. Karena ya itu tadi...kami bersahabat karena sehati walaupun pemikiran kami sangat berseberangan dalam menyikapi suatu persoalan," lanjut Calik.
"Jadi bagi anda bertiga, berdebat mempertahankan argumen adalah sesuatu yang biasa saja," tanya seorang pengunjung.
"Iya," jawab ketiganya dengan nada serempak bak koor paduan suara.
"Namun bukan berarti kami tak berdebat. Selalu berargumentasi," jawab Cagal.
"Kami berdebat dengan segudang argumentasi yang kuat dan bukan berdasarkan logika semata. Tapi berdasarkan aturan yang berlaku dinegeri ini," sambung Calog.
"Bagaimana kami bisa mengakhiri perdebatan kalau kami hanya menggunakan logika semata. Maka panduannya aturan dan regulasi di negeri ini yang jadi patokan dalam mengakhiri perdebatan," ujar Calik.
Para warga pengunjung Warkop pun terkagum-kagum atas narasi ketiganya. Langsung menyeruput kopi yang mulai dingin ditetesi embun malam yang mulai liar dan nakal. Ekploirasi diksi ketiga lelaki tadi membuat kopi terasa hambar dan mendingin.
Para penikmat kopi di warkop pun tersenyum. Ada kebahagian yang terselip dalam jiwa mareka. Setidaknya perilaku ketiga lelaki itu layak ditiru dan dicontoh. Dan mareka memang lelaki istimewa. Ya, ketiganya memang para lelaki yang istimewa. (Rusmin)
Kampung Aek Aceng, Toboali, Bangka Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H