" Dulu saya juga warga biasa. Tetap dihormati warga," jawab Bapak.
" Itu dulu. Sekarang beda. Kini bejibun pengusaha klas kakap yang lahir di negeri ini. Kekayaannya melampui harta Bapak. Dan mareka masih muda. Masih energik. Bapak?," tanya sang istri.
" Persoalannya apakah masyarakat masih mau memilih saya sebagai pemimpin mareka? Sementara saat saya memimpin saya tak terlalu memperhatikan mareka. Saya menyia-nyiakan amanah mareka," jawab Bapak.
" Itu persoaln kecil. Kalau ada ini semua pasti lancar," jawab sang istri sambil menggesek jari jempolnya dengan jari telunjuknya. Bapak terdiam. Desiran angin malam pun terhenti. Demikian pula dengan kerlap kerlip bintang dilangit tujuh pun terhenti kilatannya yang indah. Seolah ikut merasakan lara Bapak.
Majunya kembali Bapak dalam perhelatan demokrasi kali memunculkan pesemistis yng luarbiasa dalam pikiran publik. Para pengamat pun telah memprediksi bahwa ini adalah awal kejatuhan Bapak.
" Saya heran apa yang menjadi alasan beliau ingin mencalonkan diri kembali ditengah minimnya prstasi beliau sebagai pmimpin daerah ini?," tanya seorang Ketua LSM.
" Kekuasaan," jawab seorang warga.
" Apa beliau tidak tidak memperhitungkan statistik beliau yang makin menurun dimata publik," tanya warga yang lain.
" Beliau berasumsi duit akan mengubah semuanya," jawab warga yang lain.
" Pemimpin yang malang," sahut seorang warga.
Bapak makin percaya diri ketika dalam suatu pertemuan warga yang datang ramai. Senyum khasnya kembali menebar bumi. Percaya dirinya kembali mengeskalasi jiwanya. Sejuta harapan kembali dipungutinya. Ada kebahagian yang tak terperikan dalam nuraninya yang terdalam. Ada segudang bahagia menyelinap dalam otak ambisinya.