" Karena kamu belum menikah, maka kamu menjadi tanggungjawab kami sebagai orangtuamu. Tapi kalau kamu sudah menikah, maka kami tidak bertanggungjawab secara penuh terhadap kamu, karena kamu sudah menjadi tanggungjawab suamimu. Jadi kamu paham, kenapa Ayah selalu bersikap tegas terhadapmu selama ini," ungkap Sang Ayah dengan penuh wibawa.
Dara terdiam. Malam penuh rembulan dan gemerlap bintang gemintang pun terdiam. Tertegun saksikan adegan itu. Cahaya rembulan pun rehat sejenak menyinari bumi . Kerlap kerlip bintang pun terhenti tanpa gemerlap. Sang ayah terus berceramah tanpa henti. Intonasi nada suaranya dari lembut hingga meninggi bak rocker yang sedang meneriakkan nada-nada tinggi di panggung hiburan. Sementara Dara putrinya hanya terdiam dan terdiam. Mematung. Membisu tanpa kata. Tak ada reaksi sedikitpun. Tubuh cantiknya hanya mematung bak lukisan monalisa. Nafasnya seakan terhenti sejenak. Diksi-diksi dari mulut sang Ayah terus berwarna warni sebagai penghias malam yang makin meninggi. Malam makin melarut. Selarut hati Dara dalam kesendirian hidupnya.
Siang itu Dara hendak ke Kota. Mengantarkan naskah tulisannya lewat kantor pos. Sedekitnya seminggu sekali Dara selalu ke Kota untuk mengirimkan tulisannya ke berbagai media massa dan penerbitan. Kehobiannya dalam dunia tulis menulis dan berpuisi adalah tantangan tersendiri bagi Dara. Terutama saat hidupnya di Kampng.
Perkenalaannya dengan dunia kesenian berawal ketika dirinya menuntut pengetahuan di Kota. Ajakan teman-temannya untuk menyaksikan pentas-pentas sastra telah merubah gaya hidupnya. kendati awalnya sangat sulit bagi Dara untuk menikmati pentas-pentas seni, namun naluri jiwanya telah menyeretnya masuk kedalam pusaran dunia itu. Apalagi dara seni juga mengalir dari Ayahnya yang semasa mudanya dikenal sebagai pemain musik walaupun hanya untuk acara kawinan di tingkat lokal.
Kebiasaan yang menjelma menjadi roh dalam hidupnya dan menjalari raga makin mengkristal ketika Dara berkenalaan dengan penyair terkenal di Kota tempatnya menimba ilmu. Dian Akew nama sastrawan itu. Sebuah nama yang cukup kesohor dan terkenal di Kota itu. Hampir seluruh penghuni Kota mengenal nama dan wajah seniman ini.Wajah flamboyannya pun selalu menghiasi media massa lokal lewat tulisan dan cerpen-cerpennya yang selalu menggoda untuk dibaca. Pentas keseniannya yang sarat dengan perlawanan terhadap penguasa selalu mendapat respon yang positif dari penggemarnya tanpa terkecuali. Penggemarnya banyak. Tak terkecuali Dara.
Keakraban Dara dengan Dian Akew makin membawa gadis dari sebuah pulau itu tenggelam dalam pergulatan emosi jiwanya yang memang berkadar pemberontak. Dian Akew selalu mencerahkan gairah hidupnya dan mencerdaskan daya kritisnya terhadap alam sekitar.
' Kalau kita hidup hanya memikirkan diri kita sendiri maka lebih baik kita hidup di hutan. Di hutan pun para binatang selalu berineraksi dengan sesama penghuninya. Apalgi kita sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya," ungkap Dian Akew kepada Dara saat rehat dari sebuah latihan.
" Saatnya kita mengasah nurani. Mengasah jiwa raga untuk selalu berbagi dan membantu sesama kita. Toh kita juga tak akan miskin dan papa kalau membantu sesama manusia," lanjut sang sastrawan berparas flamboyan.
Keabraban Dara dengan Dian Akew bukan hanya sekedar seorang penggemar setia belaka. Dara merasa ada sesuatu yang terasa saat bertemu dan bertatap muka serta berbicara dengan sastrawan ini. Sebagai gadis, Dara merasa ada getaran-getaran asmara yang dialaminya.
Dan ketika pada suatu ketika Dian Akew mengajaknya bersama rombongan untuk pentas keluar kota, Dara tak kuasa menahan kegembiraannya. Apalagi permintaan itu disampaikan Dian Akew kangsung kepadanya saat Dara berada di sanggar sang sastrawan. " Kamu ikut ya dalam pementasan kita di luar kota," ajak Dian Akew.
Usai pentas yang mampu menyedot dan menghipnotis ribuan penonton hingga acara selesai , Dara tanpa tersadari melintas di kamar penginapan Dian Akew yang terpisah dari rekan-rekannya. Sapaan khas sastrawan menghentikan langkah Dara. Seniman itu tampak sedang santai di depan kamarnya yang menghadap ke hutan kecil dengan ditemani sebatang rokok yang masih mengepul asapnya ke udara dan segelas kopi yang sudah tersedot setengahnya. Cahaya rembulan memancarkan sinarnya ke arah wajah sang seniman sehingga keflamboyanannya sebagai manusia tampak berkharisma.