"Baru pulang,Mbak dara jelita," sapa Dian Akew dengan nada puitis.
Dara kaget. Jantungnya seakan mau copot akan sapaan sang sastrawan flamboyan itu. Tingkahnya jadi tak karuan.
' Iya,.Belum tidur, Mas," sapa Dara dengan nada tersekat berbasa basi.
" Belum. Mata tampaknya susah diajak kompromi malam ini. Bintang masih mengajak bersama. Demikian pula dengan cahaya rembulan. Apakah dinda putri yang menawan bersedia melapangkan waktu bersama hamba yang sedang berteman sepi," jawab Dian Akew dengan nada puitis.
Dara terdiam. Kerongkongannya tersekat untuk biacara. Seolah tersumbat oleh sesuatu. Kakinya terasa berat melangkah. Sekan-akan ada beban yang menghadangnya. Kebahagian terasa direlung hatinya yang terdalam. Berbunga-bunga. Apalagi dari narasi teman-teman dan penggemar Dian Akew tersiar kabar bahwa seniman itu kurang bersahabat dengan wanita.
" Mas Dian itu kayaknya kurang romantis sebagai lelaki. Jarang bergaul dengan perempuan," cerita temannya.
" Iya. Walaupun penggemarnya kebanyakan wanita, tapi sikapnya biasa-biasa saja," sela temanya yang lain.
" Dan sungguh beruntunglah wanita yang bisa menaklukan hatinya. Soalnya hatinya sekeras batu. Tak terbuka untuk wanita," ujar teman Dara yang lain sembari ngakak.
Uluran tangan sang sastrawan membuat Dara telah hadir dalam pangkuan sang sastrawan. Cahaya rembulan menjadi saksi drama romantisme dua anak manusia itu. Tatapan dari kedua bola mata keduanya menafsirkan jiwa-jiwa yang kering kerontang. Tatapan keduanya seakan ingin mereguk kebahagian yang hilang. Tanpa terasa bibir mungilnya telah basah. Dengus anjing hutan liar makin beringas mengejar mangsanya. Angin sepoi menambah keromantisan malam.Kesahduan malam makin mempesona ketika keduanya saling merebahkan diri. Suara derit kayu-kayu kecil dihutan oleh tiupan sepoinya angin menambah ganasnya malam. Malam semakin meninggi. Setinggi emosi manusiawi yang menguasai raga Dara dan sang sastrawan. Tetesan air yang jatuh ke dedaunan menambah dinginnya suasana malam.
" Maafkan saya yang telah jauh berlari dalam hidupmu, wahai dara jelita," ucap sang sastrawan usai keduanya melalui malam yang penuh kesesataan. keinfdahan malam telah mareka jelmakan sebagai malam kegelapan nurani. Dara hanya terdiam. Airmata bahagia mengalir dari bola matanya yang cantik. Senyum kebahagian mengambang dari bibir mungilnya. Tak ada rasa sesal.
Dara seakan tak bernafas, ketika usai kuliah seorang temannya memberitahukan bahwa Dian Akew sang sastrawan telah meninggal karena tabrakan saat sang sastrawan itu akan pentas menuju sebuah Kota. Jantungnya seakan mau lepas dari rangkaiannya. Hanya jerit tangis sebagai kompensasi hatinya. Duka hatinya sungguh lara. Padahal baru semalam mareka bercerita tentang masa depan yang akan mareka rengkuh dalam biduk perahu yang sakral. Biduk kehidupan.